JAKARTA, KOMPAS -- Komitmen Indonesia untuk memberantas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur atau IUUF masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Kejahatan transnasional itu masih terus berlangsung dengan melibatkan pelaku lintas negara.
Diperlukan upaya kolektif untuk memerangi kejahatan perikanan ilegal tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengajak negara-negara di dunia untuk berperan aktif melindungi laut dari kejahatan perikanan.
Sekitar 71 persen wilayah dunia terdiri dari laut dan 61 persen dari wilayah laut merupakan samudera. Laut menjadi penghubung antarnegara sehingga pengelolaan sumber daya ikan di suatu negara akan berdampak terhadap negara lain.
“Semua negara punya pekerjaan rumah besar dan tanggung jawab untuk melindungi lautnya sendiri. Ini saatnya kerja sama antarnegara didorong untuk memastikan pemberantasan IUUF,” ujar Susi dalam pembukaan kegiatan peningkatan kapasitas di bidang kelautan, perikanan dan keamanan maritim untuk negara-negara Afrika, Timur Tengah, dan Pasifik, di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Lebih lanjut, Susi mengajak negara-negara berperan serta memerangi IUUF dengan bekerja sama dalam mengawasi pergerakan kapal ikan dan bertukar informasi, antara lain dengan membuka data sistem monitoring kapal (VMS). Saat ini baru 6 negara yang sudah membuka data sistem monitoring kapal (VMS), yakni Indonesia, Peru, Chili, Panama, Namibia, dan Kostarika.
Dalam 4 tahun, Indonesia membuktikan komitmen menjadikan laut sebagai masa depan bangsa. Namun, kebijakan pemberantasan IUUF sebagai upaya mendorong perikanan berkelanjutan masih belum selesai. Hampir 10.000 kapal ikan ilegal sudah ditindak, namun pemilik kapal-kapal itu belum bisa disentuh.
“Kami menindak kapten dan kepala kamar mesin (kapal), tetapi kami tidak bisa menangkap pemiliknya. Padahal, ini kapal ukuran besar hingga 500 gross ton. Ini pekerjaan rumah kita,” katanya.
Susi menambahkan, sebanyak 60 persen kegiatan perikanan saat ini masih tidak dilaporkan. Salah satu modus kejahatan yang masih berlangsung adalah kapal ikan dalam negeri membawa hasil tangkapan ke pinggir laut lepas untuk alih muatan ikan, kemudian dijual ke luar negeri. Kapal asing ilegal yang telah menunggu di samudera berkoordinasi dengan kapal pengumpul ikan. Saat melancarkan operasi, kapal ikan mematikan VMS.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Suherman mengakui, kasus kapal yang mematikan VMS kerap terjadi. Pihaknya hampir setiap bulan menerbitkan surat peringatan terhadap 20-30 kapal ikan yang ditenggarai mematikan VMS saat beroperasi.
Sementara, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menyampaikan, dari 7.987 kapal ikan berukuran diatas 30 GT yang terdata di buku kapal, izin 2.183 kapal sudah habis selama 2 bulan hingga lebih dari 3 tahun.
Namun, kapal-kapal yang sudah habis izinnya ini belum mengajukan perpanjangan izin. Kondisi ini merugikan negara, karena mereka tidak membayar pajak dan hasil tangkapannya tidak dilaporkan.
“Modusnya, mereka tidak mengajukan perpanjangan izin, tetapi mayoritas masih melaut dan menangkap ikan. Ini akan kita tertibkan,” katanya.
Zulficar menambahkan, pihaknya akan segera melayangkan surat peringatan kepada pemilik kapal yang belum memperpanjang izin tetapi tetap melaut. “Kalau tidak segera melapor dalam sepekan mendatang, izin bisa dicabut,” katanya. (LKT)