Kegagalan perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile, membayar bunga dan pokok surat utang perlu menjadi pembelajaran penting. Masalah itu merupakan dampak dari kebijakan impor perdagangan setahun belakangan.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegagalan perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile, membayar bunga dan pokok surat utang perlu menjadi pembelajaran penting. Masalah itu merupakan dampak dari kebijakan impor perdagangan setahun belakangan.
Baru-baru ini dikabarkan, anak usaha Duniatex tersebut tidak mampu membayarkan bunga obligasi yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019. Padahal, perusahaan itu baru menerbitkan obligasi senilai 300 juta dollar AS empat bulan lalu.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta berpendapat, masalah yang menimpa PT Delta Merlin Dunia Textile menjadi cerminan awal kondisi industri tekstil dan produk tekstil saat ini.
Derasnya produk tekstil impor yang menyasar negara-negara berkembang akibat perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) tidak dibarengi dengan proteksi kebijakan oleh pemerintah. Penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 pada pertengahan 2018 justru semakin membuka keran impor bagi lebih banyak produsen garmen.
”Yang jadi masalah saat ini adalah Indonesia tidak memproteksi diri terhadap dampak perang dagang, tetapi malah membuka keran impor. Untuk Duniatex, saya melihat, selain ada hambatan ekspor, mereka juga ditekan persaingan dengan barang impor,” tuturnya kepada Kompas, Selasa (23/7/2019).
Menurut data APSyFI, selama 2018, impor TPT naik 13,9 persen hingga 10,02 miliar dollar AS dibanding tahun 2007 yang sebesar 8,8 miliar dollar AS. Pada tahun yang sama, ekspor turun 10,1 persen secara tahunan.
Pertumbuhan negatif itu menyebabkan neraca perdagangan pada 2018 turun sebesar 25,6 persen secara tahunan, dari 4,3 miliar dollar AS menjadi 3,2 miliar dollar AS. Kinerja tersebut terburuk sepanjang sejarah perdagangan TPT, setidaknya dalam sepuluh tahun terkahir.
Kejadian yang menimpa Duniatex, menurut Redma, bisa terjadi karena perusahaan itu tidak cepat mengantisipasi risiko, seperti menurunkan kapasitas produksinya yang mencapai 2 juta mata pintal per tahun. Perusahaan yang berskala lebih kecil secara umum lebih mampu melakukan penyesuaian, baik dengan menurunkan produksi maupun memperpendek kontrak tenaga kerja tidak tetapnya.
Meski demikian, dengan kondisi saat ini, Redma berharap pemerintah segera melakukan evaluasi dengan memperbaiki kebijakan impor atau memberikan insentif untuk meningkatkan persaingan industri.
”Untuk menyelamatkan industri TPT, pemerintah harus mau memperbaiki kebijakan impor. Kalau masih mau fokus di ekspor, setidaknya pemerintah kasih insentif yang lebih baik, mungkin untuk logistik, listrik, upah tenaga kerja, atau apa pun yang bermanfaat untuk meringankan biaya produksi,” tuturnya.
Bantu biaya produksi
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto juga berpendapat, pemerintah bisa memberikan insentif yang lebih baik bagi industri TPT. Meski kualitas komoditas tekstil Indonesia baik dibandingkan negara lain, biaya produksi yang tinggi masih belum dapat ditekan.
”Industri ini membutuhkan insentif dari pemerintah. Ini industri yang besar karena membutuhkan banyak tenaga kerja, otomatis butuh biaya operasional tinggi untuk pabriknya, kan,” ujarnya.
Selain itu, biaya produksi juga tinggi karena biaya logistik yang tinggi karena lokasi perusahaan tekstil dan garmen yang tidak terintegrasi. ”Industri tekstil saat ini banyak di Cikarang dan Boyolali. Tapi, perusahaan garmennya banyak di Bandung dan Jakarta. Jadi, aspek konektivitas ini nggak lancar,” imbuhnya.
Bantuan pemerintah terhadap industri TPT juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan perbankan untuk memberikan dukungan pembiayaan. Eko mengatakan, selama ini, perbankan kurang berminat berinvestasi di Industri TPT karena agunan yang tidak menarik.
”Penting bagi perbankan, khususnya milik pemerintah, untuk tetap mendukung industri tekstil. Jadi, kasus seperti yang dialami anak usaha Duniatex ini tidak membuat mereka lari dari pembiayaan kepada sektor padat karya,” pungkasnya.