Pemerintah Menyasar Lembaga yang Dibentuk dengan Undang-Undang
Penataan lembaga nonstruktural yang gencar dilakukan di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kembali dilanjutkan. Dari peleburan dan pembubaran 23 LNS sebelumnya, pemerintah mengklaim menghemat anggaran hingga Rp 25,34 triliun.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penataan lembaga nonstruktural atau LNS untuk membuat pemerintah lebih efektif dan efisien, yang gencar dilakukan di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kembali dilanjutkan. Kini, pemerintah menyasar LNS yang dibentuk dengan dasar undang-undang.
Dari peleburan dan pembubaran 23 LNS di awal pemerintahan Jokowi-JK, pemerintah mengklaim sudah menghemat anggaran hingga Rp 25,34 triliun. LNS yang ditata tersebut, LNS yang dibentuk dengan dasar peraturan/keputusan presiden dan peraturan pemerintah.
Untuk menata LNS yang dibentuk dengan dasar undang-undang, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Syafruddin menemui Ketua DPR Bambang Soesatyo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (23/7/2019). Pasalnya, untuk menata LNS, undang-undang yang menjadi dasar pembentukan LNS harus terlebih dulu direvisi.
Sama seperti LNS yang ditata di awal pemerintahan Jokowi-JK, Syafruddin mengatakan, LNS yang dibentuk dengan dasar undang-undang bisa dibubarkan, dilebur dengan LNS lain atau dileburkan ke kementerian yang tugas pokok dan fungsinya sama dengan LNS.
Dia mencontohkan, keberadaan tujuh lembaga riset dan pengawasan yang tengah dikaji untuk dilebur menjadi satu.
"Ada juga badan-badan yang tumpang tindih dengan kementerian. Nanti kita akan sinkronkan apakah kembali ke kementerian atau tetap atau disatukan dengan yang lain," tambahnya.
Namun dia belum mau menyebut LNS yang dievaluasi. "Saya belum bisa menyampaikan secara teknis karena ini sedang digodok. Saya datang ke sini hanya untuk melaporkan dulu, memberi peringatan dulu, supaya bapak-bapak di DPR ada informasi awal," katanya.
Syafruddin berharap, jika kelak Kemenpan RB sudah tuntas mengevaluasi, dan membutuhkan revisi undang-undang untuk menata LNS tertentu, DPR dapat merespon dengan cepat.
Reformasi dituntaskan
Bambang Soesatyo menegaskan, pihaknya mendukung kebijakan Presiden Jokowi untuk melakukan reformasi birokrasi, khususnya penataan LNS.
"Rancangan besar reformasi birokrasi harus dituntaskan, jangan berhenti pada 23 lembaga saja. Melalui reformasi birokrasi, diharapkan bisa mempercepat mutu pelayanan masyarakat, menghilangkan tumpang tindih tugas dan fungsi, sehingga bisa meningkatkan tata kelola pemerintahan menjadi most-improved bureaucracy," tutur Bambang.
Ke depan, tidak perlu setiap masalah dituntaskan dengan pembentukan lembaga baru. Begitu pula setiap kali pembahasan undang-undang, tidak perlu ada pasal yang mengamanahkan pembentukan LNS.
Dimatangkan
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy mengungkapkan, jumlah kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, dan LNS yang ada memang terlalu banyak.
Ini membuat pemerintah tidak efektif dan efisien. Pasalnya, kementerian dan lembaga tumpang tindih mengurusi tugas pokok dan fungsi yang sama.
Dia mencontohkan, fungsi pengelolaan manajemen sumber daya ASN yang ditangani oleh Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Negara, KASN, dan Lembaga Administrasi Negara. Padahal di negara lain, misalnya Malaysia dan Filipina, manajemen ASN hanya diurus oleh satu lembaga.
Oleh karena itu, penataan lembaga perlu dilakukan. Tak hanya lembaga, jumlah kementerian juga seharusnya bisa dirampingkan.
“Akan tetapi, perampingan perlu disertai pemetaan yang tepat agar tidak ada duplikasi peran dan fungsi pada setiap kementerian dan lembaga,” kata Irham.
Sementara Ketua KASN Sofian Effendi mengingatkan, penataan kementerian dan lembaga tidak hanya didasarkan pada pertimbangan efisiensi anggaran.
“Perampingan struktur kementerian dan lembaga juga harus benar-benar memperhatikan nilai strategisnya,” kata dia.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, penataan yang didasarkan semata pada perspektif efisiensi anggaran berdampak pada pembubaran lembaga yang justru berperan vital. Dampaknya, nilai penghematan tidak sebanding dengan kerugian yang diderita negara karena suatu bidang yang tidak terkelola dengan baik.