Pendidikan Profesi Guru Belum Singgung Substansi Pendidikan
Lembaga penyelenggara pendidikan profesi guru ternyata belum banyak yang melakukan supervisi klinis ataupun memberikan umpan balik kepada peserta. Kurikulum juga lebih banyak mengulangi materi ketika kuliah S-1 dibandingkan penguatan studi kasus.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga penyelenggara pendidikan profesi guru ternyata belum banyak yang melakukan supervisi klinis ataupun memberikan umpan balik kepada peserta. Kurikulum juga lebih banyak mengulangi materi ketika kuliah S-1 dibandingkan penguatan studi kasus.
Direktur Pembelajaran Kemenristek dan Dikti Paristiyanti Nurwardani, ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (23/7/2019), mengakui, supervisi klinis yang diamanatkan sejak 2017 belum diimplementasikan karena tersandung masalah pemberian umpan balik kepada peserta.
”Mulai tahun ini, Kemristek dan Dikti melakukan evaluasi untuk LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang kelulusan uji kompetensi peserta PPG-nya di bawah 50 persen,” ucapnya.
Standar kelulusan uji kompetensi ialah memperoleh nilai minimal 75. Dari 70.000 peserta PPG prajabatan, hanya 78 persen yang lulus. Adapun bagi 21.000 guru peserta PPG dalam jabatan, hanya 38 persen yang lulus. Mereka yang tak lulus diberi kesempatan mengikuti ujian ulang.
Dua kurikulum
Selain itu, mulai tahun ajaran baru akan ada dua jenis kurikulum PPG, tergantung dari jenis S-1 pesertanya. Targetnya, sarjana dari prodi non-kependidikan bisa mendapatkan materi pedagogik. Sementara sarjana kependidikan bisa mendapat pengayaan berdasar studi kasus.
”Selama ini, Kurikulum PPG (Pendidikan Profesi Guru) bersifat konsekutif, baik untuk peserta yang lulus S-1 kependidikan maupun nonkependidikan,” tutur peneliti RISE Smeru Ulfah Alifia ketika memaparkan hasil penelitian berjudul ”Mampukah Program PPG Mencetak Guru-guru Berkualitas?” pada acara Indonesian Development Forum 2019 di Jakarta, Senin (22/7/2019).
PPG adalah program yang diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah PPG prajabatan bagi para lulusan S-1 ilmu kependidikan maupun program studi lainnya yang ingin menjadi guru. Mereka mengikuti pelatihan selama satu tahun sebelum mengikuti uji kompetensi guna mendapat sertifikasi pendidik.
Jenis kedua ialah PPG dalam jabatan bagi para guru yang sudah diangkat, tetapi belum memiliki gelar S-1 ataupun sudah bergelar S-1 tetapi tidak linier dengan mata pelajaran yang diampu di sekolah. Sama seperti PPG prajabatan, para guru di akhir program wajib mengikuti uji kompetensi. PPG dilaksanakan oleh 63 lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dengan akreditasi minimal B.
Penelitian RISE Smeru dilakukan di tujuh LPTK, yakni Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pakuan, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Negeri Sebelas Maret, dan Universitas Sanata Dharma. Obyek penelitiannya adalah 360 peserta PPG prajabatan untuk guru SD.
Teknis
”Kurikulum konsekutif mengulang kembali materi kuliah di LPTK. Bagi sarjana kependidikan, ini membosankan karena semestinya kurikulum konsekutif diberikan kepada sarjana dari prodi nonkependidikan,” kata Ulfah.
Kurikulum konsekutif mengulang kembali materi kuliah di LPTK. Bagi sarjana kependidikan, ini membosankan karena semestinya kurikulum konsekutif diberikan kepada sarjana dari prodi nonkependidikan.
Ia menjelaskan, sarjana kependidikan mengharapkan PPG bisa memperdalam keterampilan mengajar di kelas seperti cara menghadapi kelas dengan siswa yang heterogen dari segi kemampuannya. Setiap kelompok siswa tersebut membutuhkan pendekatan berbeda-beda, bahkan sistem evaluasi perkembangan yang tidak seragam.
Sebagai gambaran, hanya 12 persen responden yang mengaku bisa memahami pemelajaran matematika yang bersifat tematik untuk jenjang kelas berbeda-beda. Dari segi literasi, baru 21 responden menilai dirinya yang memiliki kemampuan cukup dalam membaca, mencari rujukan informasi akurat, dan menerapkan pemelajaran sesuai perkembangan siswa.
Namun, bukannya studi kasus, PPG malah mengajarkan calon guru cara mengajar yang bersifat sangat teknis, seperti cara berdiri di depan kelas, cara berbicara, dan selingan yang harus dilakukan ketika siswa mulai jenuh. Kurikulum PPG tidak menyentuh substansi psikologis siswa ataupun pengembangan pemelajaran yang memancing sifat kritis dan kreatif siswa.
Minim umpan balik
Peneliti RISE Smeru yang merupakan rekan Ulfah, Rezanti Pramana, mengungkapkan, nyaris tidak ada sistem supervisi klinis dan umpan balik yang diberikan kepada peserta. Program PPG terdiri dari satu semester lokakarya yang hanya berisi teknis mengajar dan satu semester praktik lapangan yang dipantau oleh dosen serta guru pamong dari sekolah mitra.
Penilaian praktik baru dilihat dari interaksi guru dan siswa, terutama jika guru bisa membuat siswa tidak bosan di kelas. Belum ada penilaian terkait kemampuan guru mengenali permasalahan di kelas, seperti kesulitan siswa mengajar, adanya perundungan, perkembangan literasi siswa, ataupun kompetensi guru membumikan materi pelajaran kepada contoh riil di kehidupan sehari-hari.
”Umpan balik kepada peserta, baik dari dosen, guru pamong, maupun sesama peserta jarang ditemukan sehingga peserta tidak tahun aspel-aspek yang perlu dipoles,” kata Rezanti. Bahkan, belum ditemukan standar operasional PPG yang baku sehingga beberapa LPTK mengemas program PPG hanya agar pesertanya bisa lulus uji kompetensi, bukan tercapainya kecakapan sebagai pendidik.
Dari aspek pendidikan karakter juga masih terkendala karena idealnya PPG harus berasrama sehingga peserta digembleng dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataannya, dari tujuh LPTK hanya Universitas Pakuan dan Muhammadiyah Purwokerto yang menerapkan PPG berasrama. LPTK lain memiliki asrama, tetapi penuh karena dipakai untuk kegiatan lain.