Romansa ”Garuda” di Puncak Dunia
Hingga detik ini, tampil di Piala Dunia FIFA masih menjadi angan-angan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Padahal, di masa jayanya dahulu, Indonesia pernah begitu dekat, bahkan menciptakan sejarah sebagai tim pertama di Asia yang ikut serta di ajang sepak bola paling prestisius sejagat itu.
Setelah delapan tahun absen di kualifikasi Piala Dunia, pekan lalu, Indonesia kembali berpartisipasi untuk berebut tiket ke Piala Dunia edisi ke-22 di Qatar pada 2022. Tim ”Garuda” berada di Grup G putaran kedua kualifikasi zona Asia. Putaran kedua akan bergulir pada 5 September 2019-9 Juni 2020.
Skuad ”Garuda” akan menjalani laga-laga ”maut” melawan tim negara-negara tetangga di Asia Tenggara yaitu, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Selain itu, di Grup G juga ada wakil Timur Tengah, yaitu Uni Emirat Arab, yang juga berjuang merebut tiket ke babak utama di Qatar.
Bagi negara-negara di Asia Tenggara yang nyaris tidak punya tradisi tampil di Piala Dunia, perjalanan menuju Qatar bisa dikatakan maha-berat. Jika lolos dari kualifikasi putaran kedua yang diisi UEA itu, tim-tim seperti Indonesia bakal ditunggu para raksasa di Asia seperti Iran, Korea Selatan, dan Jepang, di putaran ketiga. Hanya empat tim terbaik di Asia, dari total 39 peserta kualifikasi, yang berhak otomatis lolos ke Qatar.
Tidak heran, perjalanan menuju babak utama Piala Dunia bak mendaki tujuh puncak tertinggi di dunia alias “Seven Summits”. Diperlukan ketangguhan mental dan fisik, persiapan matang, hingga sokongan biaya tidak sedikit, untuk menjalani delapan laga kualifikasi putaran kedua plus laga-laga lainnya di putaran ketiga maupun playoff selama dua tahun ke depan. Sedikit saja kesalahan atau kelalaian dalam perjalanan panjang itu, musnah nyawa harapan Indonesia ke Piala Dunia.
Tim itu diberi nama Hindia Belanda (Dutch East Indies), cikal bakal negara Indonesia
Indonesia sebetulnya sudah pernah menginjak puncak sepak bola itu jauh sebelum Jepang, Iran, atau Korsel, silih berganti menguasai Asia dan menjadi langganan peserta Piala Dunia. Pada Piala Dunia edisi ketiga, yaitu di Perancis, 1938 silam, publik sepak bola dunia disuguhkan penampilan tim yang disebut L’Equipe, media setempat, “eksotis”. Tim itu diberi nama Hindia Belanda (Dutch East Indies), cikal bakal negara Indonesia saat ini.
Hindia Belanda diakui FIFA sebagai negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia. Di tengah menguatnya paham fasisme di dunia saat itu, Hindia Belanda tampil bak mozaik di Perancis. Mereka menjadi satu-satunya tim multietnis dari total 16 tim kala itu. Ada pemain berdarah Melayu seperti kapten Achmad Nawir dan Isaak Pattiwael, ada pula yang mewakili etnis Tionghoa macam kiper Mo Heng Tan dan bek Frans Hu Kon. Sisanya berdarah Belanda seperti striker Henk Zomers.
Tidak seperti saat ini, tim Hindia Belanda itu tidak perlu susah payah melewati babak kualifikasi terlebih dahulu. Mereka berhak tampil di babak utama Piala Dunia edisi itu tanpa melewati satu pun laga pendahulu setelah calon-calon lawannya, yaitu Jepang dan Amerika Serikat, mundur dari babak kualifikasi akibat ketegangan politik menjelang Perang Dunia ke-II saat itu.
Meskipun dalam penjajahan Belanda, semangat patriotisme para pemain ketika itu sangat besar
Namun, Merah-Putih tidak berkibar di sana. Sebagai negara kolonialisasi, Nawir dan rekan-rekannya mengenakan kaus “Oranye” khas Belanda. Lagu kebangsaan Belanda pula, yaitu Het Wilhelmus, yang berkumandang di sana alih-alih Indonesia Raya. Hindia Belanda kalah 0-6 dari Hungaria—runner up Piala Dunia edisi itu—dan langsung kembali ke Tanah Air seusai menempuh perjalanan berbulan-bulan dengan kapal Baloeran, seperti dikutip dari Java Post International.
Hindia Belanda terukir dalam sejarah Piala Dunia sebagai satu-satunya peserta yang hanya bermain satu laga alias 90 menit. Saat itu, babak utama Piala Dunia masih memakai sistem babak gugur sejak awal. Implikasinya, tim yang kalah di babak 16 besar harus segera angkat koper. Meskipun demikian, penampilan teramat singkat tim itu menyisakan kenangan mendalam bagi banyak pihak.
Kurcaci versus raksasa
Wali Kota Reims, Perancis, yang menyaksikan laga Hindia Belanda kontra Hungaria itu menyebutnya sebagai duel “para kurcasi versus raksasa”. Menariknya, mereka tidak takut sedikitpun menghadapi salah satu tim terkuat dunia saat itu tersebut. Pelatih Hindia Belanda Johannes Mastenbroek berani menurunkan formasi sangat ofensif, yaitu 2-3-5. Lini bertahan tim itu hanya menyisakan duet bek Hu Kon dan Jack Samuels serta kiper Heng Tan yang juga merangkap libero.
“Meskipun dalam penjajahan Belanda, semangat patriotisme para pemain ketika itu sangat besar. Ayah saya berkata, apa pun hasilnya saat itu, tim itu membela nama Indonesia. Maka itu, mereka tampil berani. Ayah saya bahkan sempat mencetak gol meskipun itu lantas dianulir,” ujar Yohanes Pattiwael, anak dari Isaak Pattiwael, kepada FIFA TV, 2014 silam.
Di masa kemerdekaan, Indonesia beberapa kali punya kesempatan emas menembus Piala Dunia. Diperkuat sejumlah generasi terhebatnya seperti Ramang, Maulwi Saelan, dan Tan Liong Houw, tim Garuda melesat di babak prakualifikasi dan kualifikasi fase pertama Asia untuk Piala Dunia 1958. Namun, mereka dicoret dari fase kualifikasi kedua karena menolak bermain di markas Israel sebagai bentuk pembelaan atau solidaritas atas Palestina.
Kesempatan kedua untuk menembus level elite dunia, hal yang tidak pernah dicapai negara-negara Asia Tenggara lainnya, kembali datang pada 1985 silam. Indonesia menembus babak kedua kualifikasi Piala Dunia 1986 zona Asia sebagai juara grup 3B yang diisi tiga tim lain yaitu India, Thailand, dan Bangladesh. Kesuksesan itu memaksa Garuda bertemu Korsel di putaran kedua. Rakyat Indonesia pun sempat dilanda euforia. Mimpi ke Piala Dunia begitu dekat.
Ada jiwa nasionalisme pada diri pemain waktu itu
Jika bisa melewati Korsel, mereka tinggal mengalahkan Jepang guna bersua sekaligus menjadi saksi hidup gol “Tangan Tuhan” Diego Maradona, bintang Argentina, di Piala Dunia Meksiko 1986. Sayang, impian itu tidak terwujud. Indonesia kalah, baik saat tandang maupun di kandangnya sendiri. Suasana kamar ganti di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, sunyi senyap pada 30 Juli 1985 malam.
Tim Garuda kalah agregat 1-6 dari Korsel. “Kami hanya bisa bertatapan di ruang ganti usai laga kedua itu. Rasanya tidak percaya dan kami juga tidak bisa memutar balik waktu,” kata Herry Kiswanto, kapten timnas Indonesia waktu itu, mengenang peristiwa itu, saat dihubungi Senin (22/7).
Kenangan menyakitkan
Kegagalan itu terasa menyakitkan karena tim sebenarnya sudah bisa tampil perkasa selama penyisihan grup. Seperti halnya di Perancis, 1938 silam, timnas Indonesia tidaklah gentar dengan nama besar lawannya itu.
“Ada jiwa nasionalisme pada diri pemain waktu itu. Kami bermain tidak berpikir untuk mengejar materi dan kami tidak takut terhadap siapa saja,” ujar Dede Sulaiman, striker satu-satunya pencetak gol Indonesia di pertemuan dengan Korsel itu. Kekalahan itu, kata Dede, merupakan konsekuensi dari sikap pantang menyerah Indonesia. Begitu kalah 0-2 pada laga pertama di Seoul, Indonesia bertekad tampil agresif pada laga kedua.
Namun, permainan menyerang itu membuat lini pertahanan tim menjadi longgar dan Korsel semakin mudah membobol gawang Indonesia. “Kualitas Korsel memang di atas Indonesia. Itu saja,” ujar Bambang Nurdiansyah, pemain Indonesia lainnya saat itu.
Bambang Nurdiansyah berharap generasi pemain timnas saat ini bisa melanjutkan cita-citanya yang belum terealisasi itu. Cita-cita itu sekaligus juga menjadi impian seluruh rakyat bangsa ini. Melihat jalur yang dihadapi timnas Indonesia pada kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022, ia optimistis tim Garuda bisa melangkah jauh nantinya. Mantan penyerang itu menilai, talenta para pemain Indonesia saat ini, khususnya yang muda, tidak kalah dengan negara-negara di ASEAN lainnya seperti Thailand.
“Sebelum saya meninggal, saya berharap bisa mendengarkan Indonesia Raya di Piala Dunia suatu hari nanti. Itu adalah impian saya,” ujar Hilarius Ari, salah seorang pendukung timnas Indonesia, melalui kanal FIFA TV di Youtube.