Setara Institute Temukan Produk Hukum Berpotensi Diskriminatif di Jabar
Penelitian Setara Institute menemukan 91 produk hukum daerah di Jawa Barat berpotensi diskriminatif. Mayoritas aturan-aturan itu dibentuk pada kepemimpinan kepala daerah sebelumnya. Ini menjadi momentum bagi pemerintah daerah saat ini untuk mengevaluasinya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Penelitian Setara Institute menemukan 91 produk hukum daerah di Jawa Barat berpotensi diskriminatif. Mayoritas aturan-aturan itu dibentuk pada kepemimpinan kepala daerah sebelumnya. Ini menjadi momentum bagi pemerintah daerah saat ini untuk mengevaluasinya.
Produk hukum itu berada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, seperti peraturan gubernur, peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota, peraturan bupati/wali kota, surat keputusan bupati/wali kota, serta surat edaran. Adapun kelompok yang rentan menjadi korban atas aturan itu antara lain perempuan, kelompok marjinal, aliran kepercayaan, serta jemaah Ahmadiyah dan Syiah.
”Mayoritas aturan itu produk lama. Jadi, produk-produk hukum yang berpotensi diskriminatif ini berpeluang dibekukan,” ujar Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani dalam diskusi ”Mendorong dan Memperkuat Kebijakan Toleran di Jawa Barat” di Kota Bandung, Selasa (23/7/2019).
Penelitian dilakukan pada September 2018-Februari 2019. Penelitian ini juga dilengkapi wawancara terstruktur pada kelompok minoritas yang terdampak aturan-aturan itu.
Salah satu produk hukum yang dinilai berpotensi diskriminatif adalah Pergub Jabar Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jabar. Selain itu, terdapat juga Keputusan Gubernur Jabar Nomor 451.05/Kep.103-Kesbangpol/2011 tentang Tim Penanganan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat.
Menurut Ismail, Pemprov Jabar mempunyai modal regulasi untuk menghindari aturan-aturan yang diskriminatif. Salah satunya Pergub Nomor 21 Tahun 2018 tentang Peraturan Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Hukum Daerah Provinsi Jabar.
”Peraturan ini tinggal dijalankan. Jadi, aturan yang dibuat berdasarkan masukan warga untuk menghindari diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu,” ucapnya.
Pemerintah Provinsi Jabar mempunyai modal regulasi untuk menghindari aturan-aturan yang diskriminatif. Salah satunya, Pergub Nomor 21 Tahun 2018 tentang Peraturan Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Hukum Daerah Provinsi Jabar.
Ismail menuturkan, selain regulasi, Jabar juga mempunyai modal sosial untuk membentuk peraturan yang tidak diskriminatif. Sebab, di Jabar terdapat sejumlah kampung toleransi yang menonjolkan kerukunan antar-umat beragama.
Setara Institute juga mendorong pemerintah membentuk local law center (LLC) atau pusat hukum daerah di tingkat provinsi. LLC memungkinkan masyarakat berpartisipasi menyusun aturan daerah.
”LLC juga memantau pembentukan produk hukum daerah dan regulasi sosial di kabupaten/kota agar tidak diskriminatif,” ucapnya.
Dosen Jurusan Aqidah Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Neng Hannah mengatakan, ada berbagai faktor yang membuat terbentuknya aturan daerah diskriminatif, mulai dari kajian yang tidak mumpuni hingga faktor politis agar tidak kehilangan konstituen.
”Ada perda yang disusun tanpa kajian akademis memadai. Selain itu, faktor politik juga memengaruhi kepala daerah untuk memenuhi keinginan pendukungnya,” ujarnya.