Posisi ketua MPR dianggap strategis karena menjadi simbol politik penting. Oleh karena itu, banyak partai politik yang bersaing memperebutkan posisi itu.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Lobi-lobi antar-partai politik untuk memperebutkan kursi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat semakin intensif. Posisi ketua MPR tetap dianggap penting, terutama untuk menegaskan posisi partai politik di panggung politik nasional.
Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa yang kini sama-sama berada di koalisi pendukung presiden dan wakil presiden 2019-2024 terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin telah menyatakan keinginannya mendapat posisi ketua MPR. PDI-P juga belakangan menunjukkan keinginan untuk menduduki kursi ketua MPR.
Sementara di kelompok partai politik yang dahulu berkoalisi mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, ada Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang juga berminat mengambil kursi ketua MPR.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, yang dihubungi dari Jakarta, Senin (22/7/2019), menuturkan, perebutan kursi pimpinan MPR ditengarai tidak terlepas dari kebutuhan partai untuk tetap berada di lingkaran kekuasaan meski tidak melalui bergabung dalam pemerintahan. Hal ini yang membuat Gerindra dan Demokrat mengincar kursi ketua MPR.
Meski kewenangan MPR saat ini tidak terlalu signifikan, menurut dia, posisi itu tetap menjadi simbol politik penting.
”Ada keinginan yang kuat dari partai-partai untuk mendapat status politik secara simbolis. Seolah ada keinginan untuk menyatakan bahwa mereka juga berada di posisi sentral,” kata Aditya.
Aklamasi
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pemilihan pimpinan MPR dilakukan melalui sistem paket calon pimpinan, yakni satu paket terdiri dari empat unsur fraksi partai politik dan satu unsur Dewan Perwakilan Daerah. Penentuannya akan dipilih melalui sidang paripurna oleh anggota MPR, yang terdiri dari 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD.
Guna menjaga soliditas koalisi dalam penyusunan dan pemilihan paket pimpinan MPR, muncul skenario mengajukan paket tunggal calon pimpinan MPR untuk dipilih secara aklamasi.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Ahmad Basarah mengatakan, skenario ideal pemilihan pimpinan MPR dilakukan secara aklamasi.
Pada saat yang sama, komunikasi lintas parpol juga diintensifkan. Kemarin, ketua umum partai-partai Koalisi Indonesia Kerja yang mendukung Jokowi-Amin secara terpisah mengunjungi kantor DPP Partai Nasdem di Menteng, Jakarta Pusat, untuk menemui Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Elite partai koalisi yang tidak hadir adalah PDI-P.
Setelah pertemuan, ketua umum partai-partai koalisi bersama-sama menegaskan koalisi tetap solid meskipun sejumlah partai tengah memperebutkan jabatan yang sama. Pernyataan sikap itu disampaikan empat ketua umum partai koalisi Jokowi-Amin, yakni Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Golkar, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Menurut Airlangga Hartarto, untuk menjaga soliditas, para pimpinan partai harus rutin berkomunikasi terkait agenda-agenda politik ke depan, seperti pembahasan soal pimpinan MPR. ”Kami berharap seluruh keputusan yang diambil sifatnya harus kolektif berdasarkan komunikasi bersama,” ujarnya.
Ketua Fraksi Partai Gerindra di MPR Fary Djemy Francis mengatakan, mengingat selama dua periode terakhir ini ketua MPR dijabat oleh partai oposisi, tidak ada salahnya jika Gerindra menjabat ketua MPR.
”Dalam rangka menjaga keseimbangan, sah-sah saja kalau pola itu diteruskan. Selama ini pemerintahan lima tahun tetap berjalan lancar meski MPR dipegang partai oposisi,” katanya. (AGE/DVD/INA)