MEXICO CITY, KOMPAS – Situasi krisis, kedaruratan, dan instabilitas politik di sejumlah kawasan di dunia menjadi tantangan bagi pencegahan dan pengobatan orang dengan HIV. Itu sebabnya bantuan kemanusiaan di daerah krisis harus mencakup layanan pengobatan HIV.
Saat ini lebih dari 135 juta orang di dunia memerlukan bantuan kemanusiaan karena konflik dan bencana alam. ”Dari Suriah hingga Venezuela, tantangan layanan HIV pada situasi krisis kemanusiaan mengancam kemajuan global dalam perang melawan epidemi HIV,” kata Anton Pozniak, Presiden International AIDS Society (IAS), saat membuka IAS Conference on HIV Science Ke-10 di Mexico City, Minggu (21/7/2019) malam.
IAS Conference on HIV Science merupakan pertemuan penting di dunia dalam kajian ilmiah HIV dan aplikasinya. Konferensi dua tahunan ini menampilkan kemajuan terkini riset dasar HIV, uji klinis, dan aplikasinya dalam program di lapangan. Di forum yang dihadiri lebih dari 5.000 orang peserta dari sekitar 140 negara ini, standar global dalam merespons epidemi HIV diluncurkan.
”Orang dalam kondisi darurat rentan terhadap infeksi. Kita harus bekerja untuk memastikan bahwa pencegahan dan pengobatan HIV menjadi bagian dari bantuan kemanusiaan global,” kata Pozniak.
Quarraisha Abdool Karim, Associate Scientific Director di Pusat Riset Program AIDS di Afrika Selatan (CAPRISA), mengatakan, dalam situasi darurat dan krisis, perempuan akan menerima risiko paling besar. Mereka menghadapi risiko kekerasan, risiko infeksi HIV, dan kehamilan yang tidak diinginkan
”Oleh karena itu, program HIV yang berhasil harus mencakup pelayanan yang komprehensif, termasuk keluarga berencana dan pencegahan kehamilan,” ujar Karim.
Brenda Crabtree Ramirez, Ketua Ilmiah IAS HIV Science Conference 2019, menambahkan bahwa situasi sosial, ekonomi, dan politik di Amerika Latin telah berubah sangat cepat dalam beberapa tahun ini dan menciptakan kondisi krisis serta darurat.
Jangankan menerapkan program pencegahan dengan Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP), kata Ramirez, terapi antiretroviral bagi mereka yang positif HIV pun nyaris terhenti. Di tengah situasi seperti ini, angka infeksi baru HIV di Chile, Kosta Rika, dan Guatemala cenderung naik.
Amerika Latin adalah kawasan yang paling tidak merata di dunia. Usaha mengontrol epidemi HIV hanya akan berhasil jika kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan bisa diatasi.
Di Amerika Tengah dan Venezuela khususnya, instabilitas politik telah memicu migrasi dan runtuhnya sistem kesehatan. Di Venezuela tahun 2017, misalnya, hanya separuh dari 120.000 orang dengan HIV mengakses pengobatan antiretroviral (ARV). Dari jumlah itu, kurang dari 7 persen yang telah mencapai kondisi di mana virusnya tidak bisa lagi menularkan pada orang lain. Di Chile, hampir separuh dari kasus baru HIV berasal dari migran dari Venezuela dan Haiti.
"Amerika Latin adalah kawasan yang paling tidak merata di dunia. Usaha mengontrol epidemi HIV hanya akan berhasil jika kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan bisa diatasi,” kata Ramirez.
"Tentu semua perhatian tertuju pada Venezuela yang sedang dalam keadaan krisis di mana orang dengan HIV sekarat karena terbatasnya terapi ARV. Tragedi ini akan berakhir apabila ada strategi yang komprehensif di kawasan.”
Manajer Program Kesehatan Seksual di SingleStep, Bulgaria, Momchil Baev, mengatakan, dunia memiliki sains dan teknologi yang diperlukan untuk mengatasi epidemi HIV dan saatnya untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi untuk menjangkau lebih banyak lagi mereka yang positif.
Namun, tantangan keberlanjutan pendanaan tetap ada. Langkah Global Fund yang sudah menarik diri dari beberapa negara Eropa Timur berpotensi menimbulkan masalah dalam menjamin keberlangsungan pengobatan. Jika hal ini tidak diatasi, program pencegahan dan pengobatan HIV akan terganggu.
Menurut Deborah L Birx, Koordinator AIDS Global dan Wakil Khusus Amerika Serikat untuk Diplomasi Kesehatan Global, lebih dari 16 tahun program Rencana darurat Presiden AS untuk Bantuan AIDS (PEPFAR) telah menyelamatkan lebih dari 17 juta nyawa dan membantu dunia dalam merespon persoalan HIV. “Kami bangga dengan kemajuan yang dicapai negara-negara yang kami bantu dan tetap berkomitmen untuk meningkatkan upaya mengendalikan epidemi,” katanya.