IMF Peringatkan Ekonomi Global “Genting”, Negara Berkembang Jadi Tumpuan
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
SANTIAGO, RABU — Dana Moneter Internasional memperingatkan negara-negara untuk bersiap menghadapi kondisi ekonomi yang kian genting. Perlambatan perdagangan global dan rencana Brexit tanpa kesepakatan akan menekan prospek pertumbuhan ekonomi hingga 2020.
Untuk keempat kalinya, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 menjadi 3,2 persen. Sebelumnya, dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali pada Oktober 2018, perekonomian dunia tahun 2019 diperkirakan tumbuh 3,9 persen.
IMF memperkirakan perlambatan pertumbuhan ekonomi global masih berlanjut tahun depan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 dipangkas dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Perang dagang AS-China berdampak signifikan terhadap perlambatan investasi dan perlemahan kinerja manufaktur.
“Perekonomian global lesu dan genting, yang seharusnya tidak seperti ini, karena ada beberapa hal disebabkan oleh diri sendiri,” kata Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath kepada awak media di Santiago, Chili, Rabu (24/7/2019) waktu setempat.
Gopinath mengatakan, perbaikan ekonomi yang semula diperkirakan tahun 2020 menghadapi tantangan. Hal itu karena sekitar 70 persen motor penggerak pertumbuhan ekonomi global bertumpu pada negara-negara berkembang, tetapi mereka kini dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi.
Di sisi lain, Amerika Serikat, aktor utama perang dagang, menunjukkan prospek perekonomian yang cukup kuat pada awal tahun 2019. Sejumlah indikator ekonomi AS juga membaik sehingga IMF menaikkan proyeksi produk domestik bruto (PDB) AS menjadi 2,6 persen pada 2019.
“Namun, momentum pertumbuhan ekonomi akan melambat selama sisa tahun 2019 akibat perlemahan permintaan, serta pengaruh konflik perdagangan dan tarif. PDB AS tahun 2020 melambat jadi 1,9 persen,” kata Gopinath.
Sedangkan, China, target utama perang dagang, diperkirakan tumbuh moderat dari 6,2 persen menjadi 6 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi China karena permintaan ekspor global menurun dan kenaikan tarif dagang oleh AS.
IMF memperingatkan ada sejumlah faktor pemicu yang bisa mengubah situasi global dengan cepat, seperti kemungkinan kenaikan tarif AS terhadap berbagai produk China dan produk otomotif Eropa, dinamika Brexit, dan tingkat utang yang tinggi di beberap negara.
Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi juga dilakukan IMF terhadap Jerman, Jepang, Brazil, Mexico, Rusia, India, dan Afrika Selatan. Negara-negara itu menjadi motor penggerak perekonomian global saat krisis keuangan 2008.
Negara berkembang
Kendati ekonomi global lesu, prospek di negara-negara berkembang tahun 2020 tetap tinggi. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi kelompok negara berkembang naik dari 4,1 persen tahun 2019 menjadi 4,7 persen tahun 2020.
Asia diproyeksikan tetap tumbuh tinggi 6,2 persen pada 2019 dan 2020 yang ditopang China dan India. China diminta mengendalikan utang luar negeri untuk antisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Konsumsi domestik bisa didorong melalui stimulus kebijakan.
Meski demikian, Deputi Direktur Departemen Riset IMF, Gian Maria Milesi-Ferretti, menuturkan, volume perdagangan global pada semester I-2019 turun menjadi 0,5 persen, terendah sejak 2012. Kondisi ini berdampak signifikan pada negara-negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia
IMF memperkirakan pertumbuhan perdagangan global turun 0,9 persen menajdi 2,5 persen tahun 2019. Perdagangan global akan tumbuh kembali pada 2020 menjadi 3,7 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan global terhadap perekonomian domestik berupaya diperkecil. Pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen kendati ada revisi ke bawah.
“Kami memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 berada titik tengah, yaitu 5,2 persen. Motor penggerak tetap konsumsi rumah tangga dan pemerintah,” kata Sri Mulyani.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dari target APBN 2019, yang sebesar 5,2 persen. Menurut Sri Mulyani, kinerja ekspor impor masih tertekan dan investasi tetap melambat pada semester II-2019. Namun, net ekspor yang sejak awal tahun negatif akan tumbuh sekitar 0,1 persen.
Sri Mulyani menuturkan, pertumbuhan ekonomi pada 2020 diperkirakan berkisar 5,2-5,5 persen. Kontribusi investasi terhadap PDB akan tumbuh tinggi seiring kondisi politik dalam negeri yang kondusif, ditambah pengaruh sejumlah insentif fiskal. Konsumsi domestik tetap jadi penopang ekonomi.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro menambahkan, kinerja ekspor impor tahun 2019 dan 2020 belum bisa diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Transformasi struktural dieksekusi secara bertahap mulai dari regulasi dan perizinan.