Nasionalisme bangsa Indonesia dibangun berlandaskan keragaman budaya. Namun kini masyarakat lebih banyak memakai pandangan universalis, yaitu meminta adanya keseragaman.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Mempromosikan praktik baik dan membuka ruang diskursus penting dilakukan untuk mengingatkan kembali masyarakat bahwa nasionalisme bangsa Indonesia dibangun berlandaskan keragaman budaya. Tanpa pendekatan praktik baik, pemerintah juga rawan terjebak pada pandangan yang menafikan adanya keragaman di dalam lingkup masyarakatnya.
"Penekanan mengenai keragaman bangsa saat ini kebanyakan berupa doktrin mengenai Pancasila dan nasionalisme. Hal ini tidak akan bisa mengubah pemikiran masyarakat yang telanjur primordialis bahkan universalis akibat lingkungan sekitar," kata Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Irwan Abdullah dalam Simposium Internasional ke-7 Jurnal Antropologi Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta, Selasa (23/7/2019). Simposium ini bertema "Penggunaan dan Penyalahgunaan Keragaman: Respon Antropologis terhadap Ancaman Disintegrasi".
Irwan menjelaskan, masyarakat, termasuk pemerintah sekarang lebih banyak memakai pandangan universalis, yaitu meminta adanya keseragaman, baik dari segi kelompok etnis, agama, hingga pandangan politik. Ada pelupaan bahwa sejatinya perbedaan merupakan suatu hal alami yang ketika membangun bangsa Indonesia dirangkul ke dalam prinsip nasionalisme.
"Di sisi lain, primordialisme menguat sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2003. Istilah \'putra daerah\' dan \'penduduk asli\' dijadikan alat politik untuk meraih kekuasaan," tuturnya.
Primordialisme menguat sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2003
Berbagai diskriminasi terjadi secara terbuka maupun tertutup. Bentuknya berupa diskriminasi etnis, agama, seksualitas dan ekspresi jender, disabilitas, dan usia. Berbagai upaya penormalan seperti heteronormativitas, sekolah, dan permukiman khusus agama tertentu, hingga penolakan lowongan kerja karena etnis dan disabilitas menjadi lumrah di masyarakat, bahkan turut dibenarkan oleh peraturan daerah.
Menurut Irwan, dari akar rumput muncul berbagai gerakan toleransi yang merupakan pengamalan nyata dari Pancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Gerakan ini muncul secara alami tanpa perlu indoktrinasi. "Para pelakunya bisa menjadi inspirasi dan motivator yang diajak berkeliling, terutama ke wilayah konflik untuk berbagi cerita kepada masyarakat. Di dalamnya ada proses dialog mendiskusikan berbagai alasan warga setempat keberatan dengan pengakuan adanya keragaman," ucapnya.
Di dalam lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi, keragaman bukan sekadar berupa memakai busana tradisional dan menyediakan tempat ibadah bagi berbagai agama. Keragaman juga memastikan ada pembahasan kritis mengenai praktik diskriminasi dan makna multikulturalisme bagi siswa. Butuh dosen dan guru yang terlatih agar bisa keluar dari bias pribadi.
Di bawah sadar
Guru Besar Antropologi Universitas Michigan, Amerikan Serikat, Webb Keane, menjabarkan, masyarakat cenderung menjadi takut dengan kritik. Padahal, kritik merupakan unsur pembentuk adanya keragaman karena menciptakan ruang-ruang pembahasan berbagai masalah dari banyak sudut pandang.
Kritik merupakan unsur pembentuk adanya keragaman karena menciptakan ruang-ruang pembahasan berbagai masalah dari banyak sudut pandang
Padahal, pada praktiknya tanpa disadari masyarakat Indonesia menjalani hidup yang ambivalen dalam pribadi dan budayanya. Ia mengambil contoh budaya Minangkabau di Sumatera Barat yang menerapkan sistem matrilineal sekaligus menyandarkan adat istiadat kepada ajaran agama Islam. Masyarakat yang sama bisa melahirkan tokoh sekaliber Buya Hamka dan Tan Malaka.
Di Aceh ketika ulama menolak komunitas punk, mereka mengatakan belum siap dengan keberadaan anak muda yang tampil beda. "Dari diksi yang digunakan tampak sebenarnya tanpa sadar masyarakat meyakini perubahan terus terjadi dan kelahiran generasi baru akan terus memberi wawasan segar," kata Keane.
Pada wilayah kantong pengiriman buruh migran misalnya, kepergian mereka ke luar negeri dinilai positif sekaligus negatif oleh masyarakat yang ditinggalkan. Para buruh migran banyak mendapat stigma berlaku tidak senonoh ketika di luar negeri, tetapi di saat yang sama mereka dipuji dan dijadikan tolak ukur kesuksesan.
Keane mengatakan, pada masa kini kesadaran masyarakat memang lebih mendahulukan kesamaan kolektif, yaitu bangsa. Namun, ada waktu ketika individu harus menjawab pertanyaan mengenai identitas dirinya. Ia harus menerima keunikan latar belakang budaya seperti etnis, agama, jender, hingga sosial-ekonomi yang terlahir bersamanya.
"Pertanyaan yang harus ditanyakan terkait keragaman ialah \'apa kontribusi positifnya kepada masyarakat?\' Bukan langsung menghakimi dan menjauhinya," kata Keane.
Rektor UGM Panut Mulyono dalam pidato pembukaan simposium mengharapkan simposium bisa menghasilkan perdebatan yang tajam membedah permasalahan keragaman masyarakat yang kini bagaikan pisau bermata dua. Hendaknya, simposium bisa menghasilkan pandangan mengenai cara mengelola keragaman sebagai perekat, bukan pemecah bangsa.