Kesemrawutan Area Stasiun Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Kesemrawutan yang terjadi di sejumlah stasiun dinilai menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan. Instansi itu mempunyai kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan merekayasa lalu lintas untuk menciptakan keteraturan berlalu lintas.
Oleh
Stefanus Ato
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesemrawutan yang terjadi di sejumlah stasiun dinilai menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui dinas perhubungan. Instansi itu mempunyai kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan merekayasa lalu lintas untuk menciptakan keteraturan berlalu lintas.
Pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi, Deddy Herlambang, mengatakan, kewenangan itu dapat diperkuat melalui penerbitan aturan hukum baru. Model aturan atau payung hukum yang paling cepat untuk mengatasi masalah ini adalah peraturan gubernur.
”Jadi paling cepat peraturan gubernur. Kalau melalui peraturan daerah terlalu lama karena harus dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta,” kata Deddy, Rabu (24/7/2019), di Jakarta
Menurut Deddy, secara umum, Indonesia dinilai terlambat merespons kemajuan teknologi, terutama manajemen transportasi untuk mengantisipasi kehadiran transportasi berbasis aplikasi dalam jaringan. Contohnya, sampai saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur khusus tentang keberadaan transportasi berbasis aplikasi daring itu.
Peneliti transportasi dari Institut Transportasi, Deddy Herlambang, saat ditemui di kantornya, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.”Kita selalu tertinggal dengan teknologi, terutama regulasi. Jadi sampai saat ini, aturan kita memang selalu mengikuti dari belakang,” kata Deddy.
Antarmoda belum seimbang
Deddy menambahkan, solusi jangka panjang yang bisa diambil untuk mengurai kesemrawutan di sekitar stasiun adalah memperkuat integrasi antarmoda transportasi massal. Namun, integrasi antarmoda di Jakarta dinilai masih belum berimbang.
”Salah satu contoh, pengguna KRL itu, setiap turun puluhan ribu, tetapi yang menggunakan bus rransjakarta masih bisa dihitung dengan jari,” ucapnya.
Pergantian antarmoda di Jakarta juga dinilai masih menyisakan banyak masalah karena masih ada halte transjakarta yang jaraknya jauh dari stasiun. Idealnya, halte bus transjakarta dibangun berdampingan atau berada di dalam stasiun kereta.
Masalah lain, kata Deddy, adalah integrasi tiket elektronik. Seharusnya satu tiket bisa digunakan untuk mengakses berbagai jenis moda transportasi publik, mulai dari kereta rel listrik, MRT, hingga bus transjakarta, dengan harga atau tarif yang sama.
”Selanjutnya itu integrasi jadwal. Jadi, saat kereta datang, di situ sudah ada bus pengumpan yang menunggu. Jadi, tidak hanya integrasi fisik, jadwal, dan aplikasi,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Lipto mengatakan, pihaknya telah menyiapkan dua rencana, baik jangka pendek maupun panjang, untuk mengatasi kesemrawutan di stasiun. Dalam jangka pendek, pengaturan lalu lintas dan penindakan akan dilakukan lebih tegas terhadap ojek daring dan angkutan kota yang mengokupasi ruang jalan.
Adapun dalam jangka panjang, Dishub DKI akan menggandeng aplikator dan PT KAI agar menyiapkan lahan sementara sebagai lahan parkir ojek daring. Lahan itu penting agar angkutan itu tidak asal ngetem di bahu jalan.
”Kami juga akan mendorong pihak aplikator agar melakukan sosialisasi. Percuma dia mendekat ke stasiun kalau dia tidak mendapatkan order, malah menyebabkan macet,” ujarnya.