JAKARTA, KOMPAS – Penghentian 1.695 guru PNS di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara menuai protes dari beberapa pihak. Keputusan ini perlu ditinjau ulang karena bisa berdampak pada siswa dan mengganggu sistem pembelajaran di sekolah.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, pihaknya memprotes keras keputusan penghentian sejumlah guru dari jabatan fungsional yang dilakukan oleh Bupati Simalungun. Hal ini dinilai tidak tepat, apalagi di tengah kondisi kekurangan guru di sebagian besar wilayah Indonesia.
“Masalah administrasi jangan sampai mengalahkan substansi. Ini persoalan serius. Pemerintah tidak bisa hitam putih menyelesaikan persoalan ini mengingat kita masih kekurangan guru. Dampaknya bisa ke siswa, lebih lanjut ke masa depan bangsa,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Melalui Surat Keputusan Bupati, Pemerintah Kabupaten Simalungun secara resmi memberhentikan guru pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak memenuhi kualifikasi akademik dari jabatan fungsional. Kualifikasi tersebut salah satunya adalah harus bergelar sarjana. Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya memperbaiki predikat laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Simalungun yang dinilai menyalahi aturan karena memberikan tunjangan sertifikasi pada guru yang tidak bergelar sarjana.
Sebanyak 992 guru tamatan sekolah pendidikan guru (SPG) dan diploma II dihentikan sementara dan diminta mencantumkan gelar sarjana paling lambat November 2019. Sementara 703 guru lainnya merupakan tamatan SMA dan kemungkinan dihentikan permanen. Jabatan fungsional guru merupakan syarat bagi PNS agar bisa mengajar di sekolah (Kompas, 24/7/2019).
Sebanyak 992 guru tamatan sekolah pendidikan guru (SPG) dan diploma II dihentikan sementara dan diminta mencantumkan gelar sarjana paling lambat November 2019
Unifah menuturkan, pemberhentian status guru PNS bukan solusi atas masalah yang terjadi. Pemerintah seharusnya memastikan kewajiban untuk mendorong guru memenuhi kualifikasi bisa terlaksana. Guru memang punya tanggung jawab untuk mendapatkan gelar sarjana dengan biayanya sendiri. Untuk itu, ia juga mengadvokasi guru-guru lain yang belum sesuai kualifikasi agar segera mendaftar kuliah.
Namun, pemerintah juga perlu memberikan kemudahan akses agar guru bisa memenuhi tanggung jawab tersebut. “Apakah peran pemerintah untuk mengarahkan para guru ini sudah dilaksanakan?” ucapnya.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengungkapkan, pada pasal 34 Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengatur pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, wajib membina dan meningkatkan kompetensi serta kualifikasi guru. Tertulis juga, pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan.
“Seharusnya, pemerintah sudah punya data berapa guru yang memang belum sesuai kualifikasi yang ditentukan. Dari data itu, pemerintah berarti bisa merencanakan dan memprioritaskan anggaran untuk peningkatan kualifikasi guru. Pemerintah punya kewajiban untuk itu,” ujarnya.
Bagi guru yang sudah berusia lebih dari 50 tahun, pemerintah bisa memberikan solusi melalui perkuliahan dengan konsep modul seperti yang dilakukan di Universitas Terbuka. Setidaknya, guru bisa memenuhi syarat kualifikasi akademik tanpa terbebani jam perkuliahan reguler. Selain itu, advokasi juga harus lebih gencar dilakukan oleh organisasi profesi yang menaungi.
Menanggapi persoalan tersebut, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Supriano mengatakan, putusan penghentian guru tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. “Ketika umur 58 tidak mengambil S1 atau D4 otomatis dihentikan berdasarkan sistem,” ucapnya.
Dalam aturan itu juga tertulis, bagi guru yang belum diangkat pertama kali dalam jabatan fungsional guru karena yang bersangkutan belum memenuhi persyaratan maka guru tersebut masuk dalam jabatan fungsional umum.