Di tengah upaya memperbaiki derajat kesehatan masyarakat, anak dengan HIV/AIDS tak boleh terlupakan. Jumlah yang terde- teksi ibarat pucuk gunung es.
Setiap tanggal 23 Juli kita memperingati Hari Anak Nasional, dimulai pertama kali pada tahun 1984. Peringatan ini bertujuan mengingatkan kita semua tentang pentingnya peran dan keberadaan anak dalam kehidupan berbangsa. Anak adalah generasi penerus sehingga seluruh proses perjalanan hidupnya hingga dewasa harus berkualitas. Oleh karena itu, jaminan hak-hak dasar anak juga harus dipenuhi.
Meski demikian, masih ada anak Indonesia yang mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, dan pengabaian secara ekonomi dari lingkungan terdekat, termasuk teman sebaya. Banyak anak juga menghadapi masalah dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas, perkawinan usia anak, serta ancaman penyalahgunaan narkoba.
Anak-anak Indonesia usia 15-21 tahun, menurut survei sebuah lembaga di Inggris pada tahun 2018, termasuk paling bahagia di dunia. Di antara yang berbahagia itu terdapat anak dengan HIV/AIDS (ADHA). Harian Kompas sejak Senin hingga Rabu ini bersama Kompas TV, Kompas.com, dan harian Kontan mengangkat keberadaan anak ADHA pada Hari Anak Nasional tahun ini untuk mengingatkan kita bersama tentang keberadaan mereka. Mereka menjadi anak-anak yang tidak dapat menyuarakan situasi mereka ataupun jika bersuara, suara mereka tidak terdengar.
Kita perlu merangkul ADHA karena anak-anak ini bagian dari kita. Mereka mendapat HIV/AIDS secara vertikal dari ibunya yang terinfeksi HIV/AIDS sebagai janin dalam kandungan, saat melalui saluran lahir, dan atau saat menyusu. Penularan lain melalui darah yang terkontaminasi virus.
Jumlah ADHA yang tercatat resmi di Kementerian Kesehatan tidak besar meski naik hampir dua kali lipat pada 2018 dibandingkan dengan angka 2010, menjadi 2.881 anak usia 0-19 tahun. Yang perlu dicermati, kemungkinan tidak semua orangtua dengan ADHA memahami atau melaporkan situasi yang dihadapi anaknya. Hal ini menimbulkan dugaan adanya fenomena gunung es, hanya puncaknya yang terlihat, sementara bagian terbesar berada di bawah permukaan.
Kita perlu membangun kesadaran untuk tidak menstigma dan mendiskriminasi ADHA agar tidak bersembunyi dengan akibat semakin sulit mengatasi persoalan ADHA dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Penelitian tentang HIV terus berkembang, begitu juga cara penanganan dan obat-obatan untuk mencegah dan menekan virus. Pemerintah perlu terus meningkatkan ketersediaan obat penekan virus serta menggencarkan pencegahan infeksi virus HIV/AIDS. Kita juga mengharapkan peran organisasi masyarakat dalam membantu meningkatkan pemahaman tepat mengenai virus ini kepada masyarakat.
Apabila anak-anak yang terinfeksi teratur meminum obat sejak dini, jumlah virus dalam tubuh dapat ditekan, begitu juga kemungkinan penularan virus. Dengan demikian, ADHA dapat tumbuh menjadi sosok produktif serta menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk kebaikan masyarakat.