Kabupaten Nduga, Papua, adalah salah satu daerah yang sering kali menghiasi pemberitaan media di negeri ini. Bukan karena prestasi- nya, melainkan gara-gara konflik.
Sejak Jumat (19/7/2019) hingga Rabu (24/7), berita tentang Nduga menghiasi harian ini, yang semuanya berawal dari konflik dan kekerasan di daerah tersebut. Sepanjang tahun 2018 hingga Juli 2019, terjadi 37 kasus tembak-menembak antara TNI-Polri dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang dipimpin Egianus Kogoya. Tak kurang dari 23 warga sipil dan 15 aparat keamanan meninggal akibat konflik itu.
Konflik yang terus berulang, setidaknya dalam tujuh tahun terakhir, serta diikuti perburuan oleh aparat TNI-Polri terhadap KKB tidak hanya membuat pembangunan di daerah itu terhambat, tetapi juga menebarkan ketakutan di kalangan warga. Pekerja dari luar daerah enggan masuk ke Nduga karena hingga akhir Desember 2018 ada 16 pekerja PT Istaka Karya, kontraktor yang mengerjakan jalan dan jembatan di kawasan itu, menjadi korban. Awal 2019, lebih dari 500 keluarga, termasuk anak-anak, mengungsi ke hutan dan keluarga mereka di luar Nduga, khususnya Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Kondisi warga Nduga yang ketakutan, dengan keterbatasan sumber daya dan pangan, seharusnya mengundang kepedulian kita sebagai satu bangsa. Apalagi, dilaporkan sejumlah warga, khususnya anak-anak, meninggal dalam pengungsiannya. Anak usia sekolah terhenti mengenyam pendidikan. Kondisi itu kian buruk karena menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia wilayah Papua, tenaga kesehatan dan guru di Nduga sering menjadi sasaran penyerangan dan penyanderaan. Warga Nduga kian terpuruk dan tertinggal.
Siapa pun yang melakukan penyanderaan dan penyerangan terhadap warga sipil di Nduga amat tidak berperikemanusiaan. Perlindungan terhadap warga sipil, khususnya mereka yang berkarya untuk kemanusiaan dan pembangunan, seharusnya diutamakan sehingga bisa membantu mengangkat masyarakat dari keterpurukan. Konvensi Geneva IV, termasuk Protokol Tambahan 1977, sebagai hukum internasional dalam situasi perang, menegaskan, warga sipil harus mendapatkan perlindungan dari siapa pun yang terlibat peperangan.
Apalagi, Papua saat ini bukan area peperangan dan bukan daerah operasi militer. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak hidup dan keselamatan warga negara Indonesia. Siapa saja yang melakukan penyerangan terhadap warga sipil bisa dipi- dana, baik berdasarkan hukum Indonesia maupun hukum internasional. TNI-Polri yang bertugas menegakkan hukum tentu saja harus menjalankan tugasnya secara terukur. Sekaligus bisa mendukung upaya kemanusiaan menyejahterakan rakyat Nduga.
Bupati Nduga dan Gubernur Papua serta jajarannya, sebagai pelayan masyarakat yang terdepan di daerah itu, lekaslah hadir menyelamatkan warga yang mengungsi dan menjadi korban konflik. Pemerintah pusat dan rakyat Indonesia lain bisa menggalang solidaritas untuk membantu warga Nduga. Kepedulian kita sebagai bangsa saat ini diuji.