Akses Perempuan terhadap Keadilan Hukum Belum Optimal
JAKARTA, KOMPAS -- Kaum perempuan masih menemui sejumlah permasalahan ketika harus berurusan dengan hukum. Sejumlah regulasi yang telah dibuat dengan perspektif perempuan belum diterapkan secara optimal.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Sri Nurherwati dalam diskusi Perempuan dan Akses terhadap Keadilan di Jakarta, Kamis (25/7/2019), mengatakan, kaum perempuan masih berisiko menghadapi beberapa masalah ketika berhadapan dengan proses hukum yang tidak berperspektif kesetaraan gender.
Dalam diskusi tersebut, hadir sejumlah perempuan yang telah berurusan dengan hukum selama bertahun-tahun, di antaranya para penyintas peristiwa 1965 dan jemaah gereja HKBP Filadelfia, Kabupaten Bekasi, yang disegel warga.
Hadir pula penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Sri Bhayakari; anggota Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung, Nirwana; Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata Agama Mahkamah Agung, Latifah Setyawati; dan Kepala Bagian Monitoring dan Evaluasi Biro Lemtala Srena Polri, Komisaris Besar Ayi Supardan.
“Masalah yang dihadapi perempuan salah satunya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual, polisi mewajibkan penyertaan alat bukti dalam pelaporan,” kata Nurherwati.
Padahal, sering kali perempuan korban tidak memiliki bukti fisik jejak kekerasan. Mereka butuh waktu lama untuk memutuskan akan melaporkan kasus yang menimpanya sehingga jejak tersebut telah hilang. Keraguan itu disebabkan sistem kultur patriarki yang menghambat perempuan untuk mengungkapkan kekerasan yang diterimanya.
Hambatan serupa juga kerap dialami dalam proses persidangan. Belum semua pengadilan memperbolehkan perempuan yang menjadi tersangka atau terdakwa untuk membawa pendamping ke dalam ruang sidang.
Keberadaan pendamping penting bagi mereka untuk memberikan dukungan menjalani proses persidangan. Tanpa pendamping, mereka cenderung tak bisa mengekspresikan keinginan. Mereka terintimidasi pihak-pihak yang menyematkan stereotip negatif pada perempuan yang berusaha menyelesaikan masalah kekerasan di ranah hukum.
Selain itu, kata Nurherwati, belum semua putusan pengadilan yang berpihak pada perempuan dilengkapi dengan tanggung jawab pemulihan. Beban sosial yang ditanggung perempuan tidak serta merta hilang saat putusan pengadilan dijatuhkan.
Ia menambahkan, semestinya hal-hal tersebut sudah tidak terjadi pada perempuan. Sebab, negara telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Ditambah lagi, dalam proses persidangan, sudah terbit Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Peraturan tersebut mengatur sejumlah hak bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum, di antaranya memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman; hak memberikan keterangan tanpa tekanan; dan hak mendapatkan pendamping.
“Kenyataannya, Perma Nomor 3/2017 itu belum diterapkan di semua pengadilan,” kata Nurherwati.
Praktik peradilan berperspektif kesetaraan gender pun masih dilakukan atas inisiatif perorangan, belum terjadi secara sistematis.
Belum merata
Anggota Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung, Nirwana, mengakui, Mahkamah Agung telah menunjukkan keberpihakan pada perempuan yang berhadapan dengan hukum melalui penerbitan Perma No 3/2017. Akan tetapi, penerapannya memang belum merata di semua pengadilan.
“Peraturan dan perspektif (kesetaraan gender) belum tersosialisasi secara optimal ke seluruh hakim. Kami terkendala anggaran untuk menyosialisasikannya,” kata dia.
Ia menambahkan, sosialisasi telah dilakukan terhadap 1.505 calon hakim. Namun, pihaknya belum mampu menjangkau sejumlah hakim lainnya yang tersebar di daerah-daerah.
Kendala serupa terjadi pada kepolisian. Melalui Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi Tata Laksana Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, telah dibentuk Unit PPA yang bertugas menangani kasus yang terkait dengan perempuan dan anak, baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan.
Hingga saat ini, sudah ada 496 Unit PPA yang tersebar pada 34 Polda dan 462 Polres.
Penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Sri Bhayakari, mengakui, belum semua penyidik di Unit PPA berperspektif kesetaraan gender. Oleh karena itu, dilaksanakan sejumlah pendidikan dan pelatihan untuk menanamkan perspektif tersebut.
Selain itu, Unit PPA tidak menangani semua kasus yang terkait dengan perempuan dan anak. Dalam kasus narkotika atau terorisme, meski ada korban atau pelaku perempuan, mereka akan ditangani oleh unit khusus di luar PPA yang belum tentu sudah terinternalisasi perspektif kesetaraan gender.
“Tantangan kami, perspektif itu harus diinternalisasi ke semua penyidik, sehingga bisa diterapkan pada semua unit,” kata Sri.
Ia menambahkan, upaya itu kini tengah dibangun dengan penyusunan Peraturan Kepala Bareskrim mengenai prosedur operasi standar penanganan perempuan yang berhadapan dengan hukum.
“Peraturan itu sudah menjadi draft dan telah diurus di divisi hukum. Semoga tahun ini peraturan itu sudah selesai dan bisa menjadi acuan bagi semua penyidik dalam menangani kasus yang melibatkan perempuan,” ujar Sri.