Pendekatan keamanan dan politik dinilai efektif dalam menangkal intoleransi. Kendati demikian, ada aspek lain yang belum sepenuhnya digarap dalam menangani masalah kebangsaan itu, yakni jalan kebudayaan. Membangun aspek ini menjadi tantangan perlu dijawab semua pemangku kepentingan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan keamanan dan politik dinilai efektif dalam menangkal intoleransi. Kendati demikian, ada aspek lain yang belum sepenuhnya digarap dalam menangani masalah kebangsaan itu, yakni jalan kebudayaan. Membangun aspek ini menjadi tantangan perlu dijawab semua pemangku kepentingan.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid saat menjadi pembicara dalam diskusi ”Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan” di Jakarta. Hilmar mengatakan, ada anggapan bahwa intoleransi berakar dari persoalan ekonomi, entah itu kemiskinan, kesenjangan, dan kesulitan hidup.
”Dalam situasi itu muncul berbagai macam ide untuk memilih ’jalan cepat’. Jalan cepat untuk menjadi makmur atau jalan cepat untuk masuk surga,” kata Hilmar Farid, Kamis (25/7/2019).
Semestinya, kata pria yang akrab disapa Fai ini, budaya harus mengisi ruang batin yang bakal memicu tindakan intolerasi itu. Memang, lanjutnya, selalu ada masalah laten dalam kebudayaan karena sifatnya yang abstrak. ”Ahli mengatakan bahwa kebudayaan itu mirip asap: baunya tercium, dampaknya terasa, tetapi tidak bisa dipegang,” katanya.
Pemerintah, lanjutnya, telah mengupayakan tata kelola kebudayaan melalui UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ia menegaskan, arah pemajuan budaya itu termaktub dalam preambul Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Ini bisa dicapai selama pemerintah bisa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Hal itu, katanya, hanya dimungkinkan ketika pelaku budaya memiliki zona bebas. Menurut Fai, zona bebas inilah yang harus didiskusikan lebih lanjut dengan Polri sebagai penjaga ketertiban masyarakat.
”Kebebasan ekspresi kadang kala berbenturan dengan urusan keamanan. Sampai di mana sebetulnya limitnya?” katanya, dalam diskusi yang juga dihadiri Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo, anggota DPR Komisi I Nico Siahaan, dan seniman Marcell Siahaan.
Dalam amanat Kepala Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal yang dibacakan Dedi, tergambar tantangan Polri dalam memberantas intoleransi di dunia maya. ”Hoaks tumbuh bak rumput liar. Tak terhitung banyaknya akun yang menyebarkan hoaks. Banyak pesan kekerasan, dan konten negatif lainnya yang dapat merusak persatuan,” katanya.
Eko Sulistyo menambahkan, hoaks memang menjadi tantangan. Namun, kita juga masih miskin konten untuk melawan hoaks itu. Semestinya, hoaks bisa dilawan dengan membuat konten yang disarikan dari nilai-nilai budaya.
Dalam artikel bertajuk ”Via Vallen, Dangdut dan Politik”, Eko menyoroti popularitas Via Vallen di Youtube yang ditonton ratusan juta orang. Youtube yang sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dipenuhi seruan kebencian dan perang politik antarpendukung membuat konten menjadi jenuh. Masyarakat ”online” di Indonesia yang menggunakan gawai dan pengguna media sosial seperti mencari konten sebagai ”pelarian kultural” yang dapat dinikmati sambil santai melupakan semua perbedaan.
”Secara tidak langsung, tanpa peran negara, tanpa kampanye dari gerakan masyarakat sipil dan media arus utama, fenomena ’Vyanisty’—sebutan bagi para penggemar Via Vallen—menjadi ’politik siber’ yang mampu menggusur konten penyebar kebencian,” tulis Eko.
Sementara bagi Marcell Siahaan, budaya mengkaji suatu hal ihwal sebelum dibagi ke publik maya. Dia menilai sebuah informasi melalui tiga lapis, yaitu benar, penting, dan baik. ”Saya selalu percaya dengan filosofi men behind the gun. Bukan soal senjatanya, melainkan orangnya,” katanya.