Jurnalisme sebagai Tugas Suci
“Dengan pengaruh yang luas dan langsung terhadap opini masyarakat, jurnalisme tidak hanya bisa dipandu oleh kekuatan ekonomi, keuntungan, dan kepentingan khusus. Jurnalisme haruslah diresapi sebagai tugas suci, dijalankan dengan kesadaran, bahwa sarana komunikasi yang sangat kuat telah dipercayakan kepada Anda demi kebaikan orang banyak.” (Paus Johanes Paulus II dalam pidatonya berjudul ‘Tahun 2000 sebagai Tahun Suci bagi para Wartawan’).
”Dengan pengaruh yang luas dan langsung terhadap opini masyarakat, jurnalisme tidak hanya bisa dipandu oleh kekuatan ekonomi, keuntungan, dan kepentingan khusus. Jurnalisme haruslah diresapi sebagai tugas suci, dijalankan dengan kesadaran, bahwa sarana komunikasi yang sangat kuat telah dipercayakan kepada Anda demi kebaikan orang banyak.”
(Paus Yohanes Paulus II dalam pidatonya berjudul ”Tahun 2000 sebagai Tahun Suci bagi Para Wartawan”)
Saya sengaja mengutip isi pidato Paus Yohanes Paulus II tersebut sebagai pembuka, sebagai pengingat kegalauan hati saya saat mulai lelah bekerja. Ya, jurnalis juga ada lelahnya. Bukan hanya lelah fisik, melainkan juga mental. Lelah fisik bisa hilang dengan tidur; kalau lelah mental? Saya memilih menyembuhkannya dengan menulis ”curhatan” ini.
Percayakah Anda jika saya menyebut menjadi wartawan atau jurnalis baik itu tidak mudah? Sebagian Anda mungkin tidak percaya karena di kanan kiri Anda banyak bertebaran orang mengaku jurnalis, tetapi kerjaannya minta duit kepada narasumber, menakut-nakuti, hingga minta fasilitas ini dan itu.
Namun, yakinlah, jurnalis baik, sebagaimana kata Paus, tidaklah seperti itu. Jurnalisme Kompas, tempat saya bekerja, mengajarkan bahwa kami menulis demi mengemban amanat hati nurani rakyat.
Itu sebabnya, mentor saya pada waktu awal menjadi jurnalis tahun 2003 pernah mengatakan, demi rakyat pula, saya harus bisa apa pun itu. Entah mau sakit serasa mau pingsan, maka tugas liputan harus tetap dijalankan.
Mentor saya saat itu mengajarkan bahwa tugas suci menyampaikan informasi ibarat meneruskan pesan berharga. Mulai dari pesan ancaman kepada penguasa lalim hingga pesan SOS tentang hidup mati seseorang yang minta diselamatkan.
”Bayangkan jika pesan yang kamu bawa tidak sampai. Apa orang yang butuh diselamatkan itu bisa bertahan?” Demikian mentor saya selalu menggugah semangat saya sebagai penyampai pesan.
Saat menjalani keseharian, tak terhitung berbagai hal menimpa kami para jurnalis lapangan. Di Malang, saya pernah dicaci maki pengembang mal yang gedungnya dibangun di atas ruang terbuka hijau (RTH) yang kasusnya ditulis Kompas.
”Kalau tidak ada (bangunan) seperti ini, mau jadi apa anak cucu kalian nanti? Mau jadi pelacur semua?” umpat si pengembang merasa jengah karena setiap hari proyeknya ditulis.
Makian itu saya ingat hingga sekarang karena membuat hati saya serasa teriris-iris. Belakangan ketahuan kompensasi pembangunan mal itu tidak seperti harapan.
Terbaru, saat ada unjuk rasa pertengahan Mei 2019, di sekitar Slipi-Tanah Abang, Jakarta, motor fotografer Kompas turut menjadi korban pembakaran oknum massa, hanya karena apes salah memilih tempat parkir.
Belum lagi jurnalis perempuan tetap harus meliput, termasuk jika harus naik-turun gunung dalam kondisi hamil besar atau meninggalkan bayi di rumah setelah masa cuti tiga bulan habis. Itu semua konsekuensi yang harus dihadapi jurnalis perempuan.
Masyarakat kelas satu
Namun, memang tidak semua kisah jurnalis tentang pengorbanan dan kepedihan. Tentu ada kisah-kisah manis menjadi seorang jurnalis.
Mulai dari menjelajahi pelosok dunia dengan ”gratis” karena dibiayai kantor ataupun undangan, menjadi orang pertama yang mengetahui aneka kabar penting dan genting, hingga tahu tentang banyak hal meskipun terkadang sebatas kulit.
Sampai-sampai teman saya bilang, wartawan adalah ”masyarakat kelas satu”, di mana banyak keistimewaan (privilege) didapat.
Tetapi, dari semua itu, belakangan saya mulai merenungkan eksistensi jurnalisme ke depannya. Pertanyaan mendasarnya adalah mau ke mana wartawan/jurnalis negeri ini ke depan? Masih hidupkah jurnalisme? Masih berperankah jurnalis/wartawan dalam menyangga pilar demokrasi? Mengingat jurnalis selama ini disebut sebagai pilar keempat demokrasi.
Belakangan ini saya merasa dunia wartawan menjadi semakin sesak oleh kepentingan. Apalagi dalam pilpres April 2019, ada jurnalis yang memihak sana-sini.
Pertanyaan mendasarnya adalah mau ke mana wartawan/jurnalis negeri ini ke depan? Masih hidupkah jurnalisme? Masih berperankah jurnalis/wartawan dalam menyangga pilar demokrasi?
Belum sampai pertanyaan saya terjawab, grup WA jurnalis berbunyi. Ada undangan untuk wartawan dari sebuah lembaga yang ingin menjamu wartawan dengan kemasan perayaan suatu kegiatan.
Di grup WA lain datang undangan makan-makan dari pejabat dan politisi. Urusan menulis berita kini begitu mudah. Tinggal ketik rilisnya dari ponsel, kirim, dan tak lama kemudian tayang.
Apa memang sekarang semudah itu kerja wartawan? Masih hidupkah wartawan sebagai pilar keempat demokrasi (setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif)? Pilar apanya jika kita mengekor saja apa mau narasumber seusai dijamu makan siang.
Perjuangan
Saya kembali mengingat-ingat. Bukankah wartawan (penulis) pada zaman dahulu adalah profesi penting bagi negeri ini? Wartawan menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan dan kebangsaan negeri ini? Banyak tokoh besar bangsa sebelumnya adalah jurnalis.
Ki Hajar Dewantara misalnya. Ia mungkin lebih dikenal sebagai pendiri perguruan Taman Siswa yang masih ada hingga saat ini. Tiga nilai ajarannya dikenal sampai sekarang, yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha (di depan memberikan contoh), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah mampu menciptakan semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang mampu mendorong dan menyemangati).
Namun, sebenarnya ia melahirkan pemikiran besar bagi negeri ini karena terbiasa menuangkan ide dan pikirannya dalam tulisan. Ia adalah penulis dan wartawan di beberapa surat kabar kala itu. Sebab tulisan pula, ia pernah diasingkan oleh Belanda saat menulis ”Seandainya Aku Seorang Belanda”. Tulisan itu menjadi kritik pedas bagi Belanda saat itu.
Berikutnya, ada juga nama Mohammad Hatta. Sejak diasingkan ke Digul oleh Belanda, ia dikenal mulai banyak menulis dan melahirkan pemikiran-pemikiran segar bagi Indonesia. Ia adalah negarawan yang juga penulis di beberapa koran dan majalah.
Selanjutnya adalah Tan Malaka. Salah satu tokoh dengan bermacam latar belakang pergerakan tersebut merupakan salah satu sosok penting negeri ini. Ia adalah orang yang tidak berhenti menulis. Ia produktif menelurkan pemikiran-pemikirannya di media massa. Salah satunya tulisan berjudul ”Tanah Orang Miskin” (1920) yang menjadi salah satu kritik tajamnya atas kapitalisme.
Bisakah saya seperti mereka, menjadi jurnalis yang tak ala kadarnya? Di tengah era kecepatan adalah panglima, di tengah berita cukup dua-tiga paragraf saja.
Saya tentu tidak ingin asal menulis omongan orang, yang kadang ditulis hari ini kemudian giatnya buyar tak lama kemudian. Atau menulis sosok yang dielu-elukan di awal, kemudian jatuh dihinakan belakangan.
Saya kemudian teringat dengan sembilan elemen jurnalisme milik Bill Kovach-Tom Rosenstiel. Sembilan elemen jurnalisme itu: kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat; inti jurnalisme adalah melakukan verifikasi; wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang diliput; wartawan harus mengemban tugas pemantau yang bebas terhadap kekuasaan; jurnalisme harus menyediakan forum untuk komentar atau kritik publik; jurnalisme harus bisa membuat yang penting menjadi menarik dan relevan; wartawan harus menjaga berita proporsional dan komprehensif; dan terakhir wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya.
Ah, mungkin itu jawaban atas kegalauan saya belakangan ini. Saya harus kembali memfokuskan arah kepenulisan saya. Berkaca pada Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawannya, saya rasa kunci ”kedahsyatan” tulisan mereka adalah bahwa mereka menulis sebagai tugas suci.
Menulis adalah bagian perjuangan. Mereka tidak menulis untuk dikenang sebagai pahlawan atau mendapat like dan pujian saat tautan tulisan dibagi-bagikan. Mereka menulis kebenaran demi menjaga nilai-nilai kemanusiaan.