Sebagian wilayah Kota Pekanbaru, Riau, memutih pada Kamis (25/7/2019) pagi. Kabut menutupi angkasa. Jarak pandang terbilang rendah. Masyarakat pun bertanya-tanya, apakah kabut itu bersumber dari asap, uap air, atau partikel lain?
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·3 menit baca
Sebagian wilayah Kota Pekanbaru, Riau, memutih pada Kamis (25/7/2019) pagi. Kabut menutupi angkasa. Jarak pandang terbilang rendah. Karena, sejak awal Juli, Riau sudah memasuki musim kemarau, masyarakat pun bertanya-tanya, apakah kabut itu bersumber dari asap, uap air, atau partikel lain?
Tidak lama kemudian, beberapa media di Pekanbaru memberitakan kabut itu berasal dari asap sisa kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di Riau dalam beberapa hari belakangan. Beberapa warga yang diwawancarai mengatakan, mereka mencium bau asap menyengat dan terasa berat ketika menarik napas.
Komunitas senam merasa terganggu dengan kabut asap tadi. Baunya menyengat.
Bagus, warga yang dihubungi pada Kamis pagi, mengatakan, komunitas senam di halaman Masjid Annur, Pekanbaru, menghentikan aktivitasnya pada pukul 07.15. Pada hari biasa, aktivitas senam dapat berlangsung sampai lewat pukul 08.00. ”Komunitas senam merasa terganggu dengan kabut asap tadi. Baunya menyengat,” katanya.
Informasi lain menyebutkan, kabut asap yang cukup tebal membuat jarak pandang menurun. Salah satu contoh, Jembatan Siak IV yang menghubungkan areal pusat kota di Jalan Sudirman dengan kawasan Rumbai hanya terlihat samar-samar.
Sontak, berita tentang kabut asap itu menyebar dan membuat heboh. Gaungnya pun sampai ke Jakarta. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Edwar Sanger sangat kaget dengan pemberitaan kabut asap itu.
Lembaga itu menegaskan tidak ada kabut asap di Pekanbaru.
”Saya ditelepon oleh Pak Doni Monardo (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana) meminta klarifikasi berita media itu. Tidak lama kemudian, Ibu Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) juga bertanya kepada saya perihal yang sama. Saya sudah menghubungi BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), meminta penjelasan resmi. Lembaga itu menegaskan tidak ada kabut asap di Pekanbaru,” kata Edwar.
Menurut Edwar, informasi kabut asap itu sangat sensitif, apalagi pada masa sekarang ini. Sejak 2016, Riau selalu bekerja keras di lapangan untuk mencegah bencana asap dan tidak ingin mengulang kembali kejadian menghebohkan akibat asap selama 17 tahun.
Juru bicara Stasiun Meteorologi BMKG Pekanbaru, Marzuki, saat dihubungi secara terpisah, mengatakan, pada Kamis pagi, Kota Pekanbaru memang mengalami kabut yang membuat jarak pandang menurun sampai 4.000 meter pada pukul 05.00. Namun, pada pukul 07.00, jarak pandang sudah meningkat sampai 6.000 meter dan terus membaik dan kembali normal pada pukul 09.00.
Aktivitas pendaratan dan keberangkatan pesawat di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, juga berlangsung normal. Marzuki menambahkan, pagi tadi, kelembaban udara di Kota Pekanbaru memang sangat tinggi, yakni 97 persen. Sementara itu, alat Indeks Standar Pencemaran Udara mencatat angka 35 atau berarti kualitas udara dalam kondisi bagus.
Kami menyimpulkan kabut yang terjadi pada Kamis pagi adalah jenis haze, yang memang mirip kabut asap sisa kebakaran (smog).
Pada Kamis, satelit pemantau cuaca melaporkan, di Riau terdapat dua lokasi titik panas yang dipercaya sebagai kebakaran lahan, yaitu di Kabupaten Siak dan Pelalawan. Namun, kebakaran itu tidak besar. Arah angin pun bergerak dari selatan ke utara.
Dengan arah angin bergerak ke utara, kata Marzuki, beberapa daerah di Kabupaten Bengkalis dan Dumai sangat berpotensi terdampak asap dari Siak dan Pelalawan tersebut. Adapun Kota Pekanbaru, yang berada di sebelah barat, tidak akan menerima asap ”kiriman” dari dua daerah itu.
”Dengan berbagai faktor itu, kami menyimpulkan kabut yang terjadi pada Kamis pagi adalah jenis haze, yang memang mirip kabut asap sisa kebakaran (smog). Bedanya, haze berasal dari partikel padat bercampur uap air di udara. Ketika terjadi pendinginan pada malam hari, kabut pun turun,” kata Marzuki.
Menurut Marzuki, fenomena haze biasa terjadi pada musim kemarau. Partikel padat yang berasal dari asap kendaraan bermotor, debu, dan sampah kecil lainnya naik ke udara. Partikel itu mengambang dan sesekali akan turun bersama udara basah pada pagi hari.
Haze lebih cepat hilang dibandingkan dengan smog seiring bergesernya waktu ke siang hari. Adapun kabut asap sisa kebakaran lahan dan hutan bertahan lebih lama dan membuat angkasa menjadi lebih menguning.