Merekam Jejak Dampak Perkembangan Kebudayaan terhadap Lingkungan
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pendekatan menggunakan persepsi antroposen membantu merekam jejak dampak perkembangan kebudayaan serta percepatan peningkatan kesejahteraan manusia terhadap lingkungan. Studi kemanusiaan tidak lagi hanya mengacu kepada masyarakat sebagai pemicu perubahan, tetapi juga melibatkan keterlibatan aspek lain, seperti flora dan fauna sebagai kolaborator.
"Antroposen melihat berbagai fenomena yang terjadi kepada masyarakat, lingkungan hidup, industri, maupun alam semesta sebagai rangkaian titik yang kemudian disambungkan untuk melihat peta dan polanya," kata Guru Besar Antropologi Universitas California Santa Cruz Anna Tsing ketika memberi kuliah umum dalam Simposium Internasional ke-7 Jurnal Antropologi Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (24/7/2019). Simposium ini bertema "Penggunaan dan Penyalahgunaan Keragaman: Respon Antropologis terhadap Ancaman Disintegrasi".
Antroposen melihat berbagai fenomena yang terjadi kepada masyarakat, lingkungan hidup, industri, maupun alam semesta sebagai rangkaian titik yang kemudian disambungkan untuk melihat peta dan polanya
Ia menjabarkan, kebanyakan studi dampak perbuatan manusia kepada lingkungan masih melihat pada satu aspek. Misalnya, industrialisasi yang mengakibatkan pencemaran di wilayah tertentu. Akan tetapi, belum banyak yang mengembangkan narasi lebih luas mengenai pengaruh tersebut kepada perubahan budaya maupun alam di Bumi.
"Evolusi terhebat adalah perubahan lanskap manusia. Kita sering melupakan persepsi kemanusiaan dan sosial ketika merancang pembangunan atau pun pemutakhiran teknologi," tutur Tsing yang juga salah satu penyunting buku Feral Atlas ini.
Ia menjelaskan teori feral environment atau peliaran lingkungan. Di masa ini, benda-benda yang liar dan mengakibatkan kerusakan tidak hanya merupakan makhluk hidup. Misalnya adalah pencemaran lingkungan akibat masifnya sampah plastik di Karnataka, India. Sapi-sapi milik masyarakat yang bebas berkeliaran mengunyah plastik yang menyangkut di rerumputan.
Akibatnya, residu sapi masuk ke dalam sistem pencernaan sapi dan dikandung di dalam susu yang dihasilkan. Susu itu dikonsumsi oleh masyarakat. Ada akibat yang tidak kasat mata dari plastik yang dalam antroposen merupakan benda liar dan merusak lingkungan. Masalah ini erat berhubungan tidak hanya dari perilaku manusia membuang sampah plastik, tetapi harus ditarik lebih jauh kepada produksi plastik yang masif.
Demikian juga dengan kasus ekspor bluberi oleh Ukraina. Berdasarkan penelitian guru besar Sejarah Sains Institut Teknologi Massachusets Kate Brown, buah arbei ini diproduksi di wilayah Polesia di bagian utara Ukraina yang terdampak oleh radiasi nuklir Chernobyl. Di satu sisi, pertanian bluberi organik memberi pemasukan kepada warga setempat, bahkan juga menjadi lokasi desa wisata. Namun, bluberi yang dihasilkan positif bersifat radiokatif.
Di dunia belum ada aturan mengenai pelarangan bluberi ini sehingga Ukraina menjadi negara pengekspor bluberi nomor satu ke Eropa. "Tentu ke depan akan memunculkan berbagai masalah di bidang kesehatan sekaligus berkaitan dengan perdagangan global dan persepsi masyarakat lokal mengenai potensi pertumbuhan di wilayah yang menurut fakta keilmiahan berbahaya," papar Tsing.
Ia mengatakan, studi antroposen menempatkan binatang, tumbuhan, dan iklim sebagai kolaborator manusia yang berisiko membuat dunia semakin tidak nyaman untuk ditempati. Dalam merencanakan pembangunan dan membuat kebijakan, kita sering melupakan bahwa dampak perilaku manusia memicu ketiga variabel itu untuk menciptakan kerusakan lebih lanjut.
Studi antroposen menempatkan binatang, tumbuhan, dan iklim sebagai kolaborator manusia yang berisiko membuat dunia semakin tidak nyaman untuk ditempati
Pola pertanian dan perkebunan monokuktur misalnya, dirancang oleh pemerintahan kolonial Eropa sebagai upaya mengefisiensikan kinerja para pekerja paksa ataupun budak. Pola tanam ini menghilangkan keanekaragaman hayati di wilayah perkebunan sekaligus menciptakan tanaman yang rentan penyakit. Virus dan hama ini kemudian merambah hingga ke wilayah luar area perkebunan, bahkan memengaruhi fisiologi manusia.
Belum punya struktur
Antropolog teknologi UGM Agus Indiyanto seusai kuliah tersebut menjelaskan, untuk konteks Indonesia, perencanaan pembangunan pada kenyataannya masih sangat sporadis. Terlepas dari kebijakan pro lingkungan yang dibuat, peningkatan produktivitas masih mengedepankan pencarian laba ekonomi dan peraihan kekuatan politik.
"Belum ada struktur, apalagi kemauan untuk melihat bahwa rantai sebab akibat tidak hanya berhenti di kerusakan alam setempat, melainkan menjadikan manusia di sekitar dan makhluk hidup lainnya berisiko turut memperparah kerusakan ketika mereka berupaya bertahan hidup menghadapi perubahan. Harus ada perombakan pola pikir di semua aspek pemerintahan dan masyarakat yang pastinya akan terhalangi berbagai kepentingan," ujarnya.