MEXICO CITY, KOMPAS – Berdasarkan bukti-bukti ilmiah terbaru Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan penggunaan obat HIV dolutegravir sebagai obat terapi antiretroviral lini pertama dan kedua termasuk bagi ibu hamil dan perempuan usia subur.
Rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut didasarkan atas bukti-bukti terbaru yang diperoleh dari studi di Tsepamo di Botswana yang didukung oleh hasil surveilans dari Brasil. Kedua temuan ini disampaikan dalam IAS Conference on HIV Science ke-10 di Mexico City, Mexico, Senin (22/7/2019).
Dengan begitu, panduan penggunaan obat ini pun harus diubah. Sebab, sebelumnya WHO mengeluarkan peringatan atas keamanan obat ini menyusul dugaan adanya kaitan konsumsi dolutegravir (DTG) dengan bayi lahir dengan cacat bawaan dari ibu yang mengonsumsi DTG.
Sebelumnya, pada International AIDS Conference ke-22 tahun 2018, data dari studi Tsepamo menunjukkan dugaan cacat bawaan tabung saraf (neural tube defect) dan kelainan serius pada otak dan tulang belakang lainnya pada bayi baru lahir dari ibu yang mengonsumsi DTG di awal kehamilan terkait dengan penggunaan DTG.
Kondisi itu mengakibatkan sejumlah negara menghentikan sementara rencana mereka memakai DTG sebagai pengobatan antiretroviral atau ARV lini pertama. Kemudian WHO pun mengeluarkan peringatan penggunaan DTG oleh perempuan usia subur.
Asisten Profesor Harvard Medical School Rebecca Zash, Selasa (23/7/2019), memaparkan, studi Tsepamo menganalisis lebih dari 119.000 kelahiran dari Agustus 2014-April 2019, termasuk hampir 1.700 perempuan yang menjalani terapi DTG di masa kehamilannya. Dengan data lebih besar terungkap risiko cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan lebih rendah dari hasil studi awal.
Lebih tepatnya, cacat bawaan terjadi pada tiga dari 1.000 kelahiran dari ibu hamil yang mengonsumsi DTG. “Risikonya kecil sementara potensi manfaatnya besar,” kata Zash.
Risikonya kecil sementara potensi manfaatnya besar.
Data kedua berasal dari surveilans di Brasil yang mengamai 1.468 perempuan hamil selama menjalani terapi antiretroviral termasuk di dalamnya 382 perempuan yang mengonsumsi DTG. Hasilnya, tidak ada satu pun kasus cacat bawaan dari ibu hamil tersebut.
Penasihat teknis Kementerian Kesehatan Brasil Fernanda Fernandes Fonseca, menyatakan, Brasil memiliki sistem surveilans distribusi obat antiretroviral yang daring. Hasil surveilans menunjukkan tidak ada satu pun kelahiran cacat bawaan dari ibu yang mengonsumsi DTG.
Efek samping
Sejauh ini DTG dinilai lebih efektif, mudah dikonsumsi, dan memiliki efek samping lebih sedikit dibandingkan obat lain yang selama ini dipakai. DTG juga tak mudah resisten. Hal ini penting mengingat tren resistensi dari pemberian obat berbasis obat efavierenz (EFV) atau nevirapine (NPV) terus meningkat saat ini. Di tahun ini, 12 dari 18 negara yang disurvei WHO melaporkan tingkat resistensi obat melewati batas 10 persen yang diizinkan.
Tahun 2019 ini terdapat 82 negara yang sedang dalam masa transisi untuk mulai menggunakan DTG. Koordinator Advokasi Indonesia AIDS Coalition Putri Sindi, menerangkan, di Indonesia DTG baru mendapat izin edar pada 12 Juni 2019. DTG memberi harapan bagi orang dengan HIV/ AIDS terutama mereka yang putus terapi karena efek samping obat. Dengan efek samping DTG yang lebih sedikit diharapkan akan lebih banyak orang dengan HIV positif yang menjalani terapi.
Jacque Wambui dari Jaringan Nasional Pemberdayaan ODHA di Kenya (NEPHAK), mengatakan, memberikan akses layanan terapi bagi perempuan dengan HIV/AIDS adalah hak dasar. Hal tak kalah penting adalah menyediakan semua opsi pencegahan dan pengobatan serta memberikan informasi risiko dan manfaat dari setiap pilihan itu bagi mereka. “Biarkan perempuan yang memutuskan sendiri apa yang terbaik abgi tubuhnya,” katanya.