Pemerintah desa di seluruh wilayah Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, didorong mengalokasikan dana desa untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama di sektor pariwisata. Desa mesti bisa mengambil peluang pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika yang akan menjadi salah satu kawasan strategis pariwisata nasional.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PRAYA, KOMPAS — Pemerintah desa di seluruh wilayah Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, didorong mengalokasikan dana desa untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama di sektor pariwisata. Desa mesti bisa mengambil peluang pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika yang akan menjadi salah satu kawasan strategis pariwisata nasional.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo menyampaikan hal tersebut saat kunjungan kerja ke Desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, Kamis (25/7/2019). Desa Setanggor, sekitar 9 kilometer sebelah barat Bandara Internasional Lombok, kini menjadi salah satu desa wisata di Lombok Tengah.
”Infrastruktur memang masih kurang. Namun, kalau infrastruktur diikuti terus, tidak akan ada habisnya. Oleh karena itu, saya mohon dana desa ke depan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat dan ekonomi desa. Dana desa digunakan untuk menunjang pariwisata di sekitar KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Mandalika dan Lombok,” tutur Eko.
Menurut Eko, Presiden Joko Widodo sangat serius mengembangkan KEK Mandalika yang berada di Kecamatan Pujut, sekitar 49 kilometer selatan Mataram, ibu kota NTB. Apalagi, kawasan tersebut direncanakan juga akan menjadi lokasi penyelenggaraan MotoGP pada 2021 dan balap Formula 1.
”KEK Mandalika diharapkan bisa membawa dampak positif bagi ekonomi masyarakat. Tentu masyarakat harus siap dengan itu,” kata Eko.
Lombok Tengah memiliki potensi besar dengan kontur alam, budaya, termasuk kearifan lokal yang terjaga. Dengan potensi itu, ekonomi masyarakat bisa dipacu lebih cepat.
Eko mengatakan, Lombok Tengah memiliki potensi besar dengan kontur alam, budaya, termasuk kearifan lokal yang terjaga. Dengan potensi itu, ekonomi masyarakat bisa dipacu lebih cepat.
Untuk mencapai hal itu, kata Eko, pihaknya meminta pemerintah desa lebih kreatif mengelola dana desa yang lima tahun ke depan paling sedikit mencapai Rp 400 triliun.
Menurut Eko, banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah desa, mulai dari membuat obyek wisata, kegiatan atau atraksi, termasuk menyediakan rumah inap. Konsep rumah inap atau homestay dengan berbagai tawaran aktivitas memiliki keunikan yang bisa menarik wisatawan, terutama wisatawan mancanegara.
”Saya juga akan meminta Bupati (Lombok Tengah) agar hotel bintang diberikan ke homestay. Sementara investasi, bisa untuk bintang empat ke atas,” kata Eko.
Selain itu, menurut Eko, pelatihan-pelatihan juga bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan di Setanggor, warganya dilatih membuat tenun. ”Kerajinan seperti itu merupakan hasil budaya yang bisa dijual dan menjadi daya tarik bagi wisatawan,” katanya.
Pengembangan kepariwisataan desa, menurut Eko, bisa dilakukan dengan memperkuat badan usaha milik desa (BUMDes). Lombok Tengah bisa belajar dari pengalaman sukses BUMDes di daerah lain, seperti Banyuwangi dan Yogyakarta.
”BUMDes wisata di sana banyak yang membayar pajak lebih dari dana desa yang diterima. Saya juga ingin lihat apakah di Lombok siap atau tidak untuk melakukan hal itu,” kata Eko.
Selain itu, dengan menjadi desa wisata, persoalan penanganan sampah juga harus diperhatikan. Apalagi, saat ini, Indonesia punya citra jelek karena menjadi penghasil sampah plastik terbesar nomor dua di dunia. Eko berharap pemerintah desa termasuk pemerintah kabupaten bisa ikut mengendalikan sampah plastik.
Sekretaris Forum Kepala Desa Lombok Tengah Jumadil Awal mengatakan, kehadiran KEK Mandalika menjadi napas baru bagi desa-desa di Lombok Tengah untuk berpacu dan menjadi penggerak pariwisata daerah. Meski demikian, pembangunan pariwisata tetap harus didukung pengembangan infrastruktur yang layak.
”Saat ini, tidak semua desa di Lombok Tengah memiliki dana kas. Karena itu, selama ini, kami didorong menggalang swadaya masyarakat, yaitu dalam konteks penyediaan lahan untuk pembangunan jalan atau lainnya,” kata Jumadil.
Hanya saja, kata Jumadil, mereka tentu tidak bisa terus-menerus meminta swadaya masyarakat. ”Kami tahu mayoritas masyarakat kami petani yang bergantung hidup pada ketersediaan lahan. Untuk itu, kaitannya dengan penggunaan dana desa dalam percepatan pembangunan pariwisata perlu ada regulasi baru yang memperbolehkan kami dalam mengadakan lahan,” kata Jumadil.
Jumadil menambahkan, basis pembangunan pariwisata juga bukan hanya pada keindahan alam karunia Sang Pencipta. Namun, bagaimana semua pihak, mulai pemerintah pusat hingga di daerah, juga membantu pemerintah desa mengeksplorasi setiap jengkal sumber daya.
Kepala Dinas Pariwisata NTB Lalu Moh Faozal mengatakan, pembangunan pariwisata tidak bisa sendiri. Semua pihak harus terlibat. Kehadiran Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dalam pengembangan pariwisata di NTB, menurut Faozal, menjadi energi baru, termasuk dengan alokasi dana desa.
”Namun, yang namanya desa wisata tidak serta-merta jadi. Ada proses panjang di mana desa harus memenuhi unsur-unsur seperti amenitas, aksesibilitas, dan atraksi. Kalau sudah ada hal-hal itu, tentu sudah bisa kami promosikan,” kata Faozal.