Percepatan izin investasi di Kepulauan Riau yang tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel akhirnya berujung pada jerat korupsi. Untuk mencegah pasar gelap izin bodong terus berkuasa, diperlukan perbaikan sistem perizinan secara menyeluruh.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Percepatan izin investasi di Kepulauan Riau yang tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel akhirnya berujung pada jerat korupsi. Untuk mencegah pasar gelap izin bodong berkelanjutan, diperlukan perbaikan sistem perizinan secara menyeluruh.
Pada Selasa (23/7/2019), tim Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah delapan lokasi di Tanjung Pinang, Batam, dan Karimun. Sehari kemudian, tujuh pejabat pemerintah provinsi diperiksa sebagai saksi terkait dugaan suap izin reklamasi yang menyeret Gubernur Kepri nonaktif Nurdin Basirun.
Dalam keterangan tertulisnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (25/7/2019), mengatakan, pemeriksaan itu untuk mengonfirmasi sejumlah bukti yang didapatkan dalam proses penggeledahan. Selain itu, hari ini seorang pengusaha juga dipanggil sebagai saksi.
Tujuh pejabat pemprov tersebut yaitu Kepala Dinas Perhubungan Kepri Jamhur Ismail, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kepri Abu Bakar, Kepala Bappeda Kepri Naharuddin, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kepri Hendri Kurniadi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepri Nilwan, Kepala Biro Hukum Kepri Raja Heri Mokhrizal, dan seorang pejabat di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri.
Heri membenarkan, ada tujuh pejabat pemprov yang dipanggil menjadi saksi. Dalam pemeriksaan itu, tim KPK meminta keterangan terkait alur penerbitan izin reklamasi. ”Saya menyampaikan (hal-hal) yang sesuai dengan tugas dan wewenang,” katanya.
Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), ada 42 titik rencana reklamasi di Kepri. Raperda itu sudah selesai dibuat sejak September 2018, tetapi hingga kini belum disahkan DPRD Kepri.
Maraknya permohonan izin reklamasi di Kepri tidak lepas dari kebutuhan industri di empat kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB), yaitu Batam, Bintan, Karimun, dan Tanjung Pinang.
Proses izin lokasi rencana reklamasi selama ini tidak melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu, tetapi langsung diberikan gubernur. Prosedur perizinan pengajuan investasi yang ada dilompati dengan alasan demi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, lolosnya izin gemuk melalui suap dan gratifikasi terjadi karena minimnya pengawasan di level daerah. Perizinan berlangsung tertutup dan syarat yang diminta rumit sehingga tidak semua pihak bisa memantau prosesnya.
”Sebaik apa pun sebuah sistem tetap membutuhkan pengawasan. Jika prosedurnya transparan, akan semakin banyak pihak yang bisa ikut mengawasi karena alur perizinan yang digunakan diketahui semua orang,” kata Oce.
Ia menjelaskan, upaya menyederhanaan sistem melalui suap dan gratifikasi biasanya terjadi karena prosedur yang digunakan selama ini terlalu berbelit. Jika tahap, waktu, dan biaya dalam proses pengajuan izin diketahui semua pihak, hal ini bisa dihindari.
Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri perlu mewajibkan pemerintah daerah untuk menggunakan fasilitas perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS). Dengan begitu, proses perizinan bisa dipantau melalui satu sistem terpadu.
Menurut Oce, pungutan biaya pengurusan izin sebaiknya juga bisa dilakukan melalui transaksi nontunai (cashless) agar alur transaksinya bisa ditelusuri kemudian hari. Sayangnya, belum banyak pemerintah daerah yang bersedia melakukan hal ini.
”Setahu saya salah satu daerah yang sudah menggunakan transaksi cashless adalah Kabupaten Bone Bolango di Gorontalo,” ujar Oce.