Teknologi Baru Industri Gula Semestinya Makin Transparan
Penerapan teknologi yang lebih maju di perkebunan tebu dan industri gula seharusnya menciptakan transparansi dalam perhitungan rendemen. Dengan demikian, petani lebih bergairah memacu produktivitas.
Oleh
Ferry Santoso
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan teknologi yang lebih maju di perkebunan tebu dan industri gula seharusnya mampu menciptakan transparansi dalam perhitungan rendemen tebu. Dengan demikian, kalangan petani dapat lebih bergairah meningkatkan produktivitas sehingga produksi dan pendapatan petani tebu bisa meningkat.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen dalam diskusi grup terfokus bertema ”Agroindustri 4.0, Aplikasinya pada Industri Gula dan Tanaman Perkebunan Lainnya untuk Meningkatkan Daya Saing” yang diselenggarakan Kadin Indonesia di Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Hadir sebagai narasumber dalam acara itu antara lain Asisten Deputi Bidang Pangan Kementerian Koordinator Perekonomian Darto Wahab, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementerian Pertanian Irmijati R Nurbakar, dan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim.
”Gairah petani tanam tebu jauh berkurang. Mengapa? Karena rendemen tak beranjak dari 7 persen,” kata Soemitro. Kalangan petani menginginkan transparansi dalam penentuan rendemen tebu. Oleh karena itu, penerapan teknologi di perkebunan dan industri tebu atau gula harus mampu menciptakan transparansi.
Gairah petani tanam tebu jauh berkurang karena rendemen tak beranjak dari 7 persen.
Menurut Soemitro, di salah satu perusahaan, petani pernah mendapatkan rendemen 12,76 persen karena perusahaan tersebut menerapkan teknologi dan transparansi. Dengan penghitungan yang transparan dan rendemen yang tinggi, petani akan bergairah meningkatkan produktivitas dan produksi di lahan yang ada. ”Kemajuan teknologi menuntut transparansi informasi dari semua pihak, termasuk jajaran pabrik gula,” katanya.
Irmijati mengungkapkan, penggunaan teknologi di perkebunan dan industri gula memang dapat meningkatkan produktivitas pada luas area tanaman tebu yang sama. Lahan tebu saat ini diperkirakan mencapai 414.000 hektar.
Jika dikelola secara konvensional, lanjutnya, produktivitas hanya sebesar 67 ton per hektar dengan rendemen sebesar 7,8 persen. Namun, dengan penggunaan teknologi yang lebih tinggi, produktivitas diperkirakan bisa mencapai 90 ton per hektar dengan rendemen sebesar 8,5 persen.
Dengan demikian, menurut dia, produksi gula bisa meningkat mencapai 37,33 juta ton melalui penerapan teknologi. Dengan cara konvensional, produksi hanya sekitar 2,1 juta ton.
Darto mengatakan, pabrik gula dan lahan perkebunan harus menjadi satu kesatuan. Kementerian Koordinator Perekonomian sudah menginisiasi pembentukan peraturan pemerintah yang mengatur integrasi lahan perkebunan dan pabrik gula.
Dengan demikian, produksi dan produktivitas dapat ditingkatkan melalui pabrik gula yang terintegrasi. Jika produksi tidak ditingkatkan melalui integrasi perkebunan dan PG, dikhawatirkan Indonesia akan terus mengimpor gula mentah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri makanan dan minuman.
Darto menambahkan, transparansi dalam penghitungan rendemen, baik di PG swasta maupun BUMN, memang diperlukan. Kementerian Koordinator Perekonomian juga mendorong pembelian tebu dari petani secara putus, bukan bagi hasil.