Wakaf Tunai Terus Didorong Isi Selisih Dana Pembangunan Berkelanjutan
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kekurangan dana untuk merealisasikan Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (SDGs). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya mampu membiayai tidak lebih dari setengah total proyek.
Untuk itu, instrumen pembiayaan baru diperlukan. Salah satu yang potensial berasal dari keuangan syariah, seperti wakaf tunai.
Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menyebutkan, Indonesia masih kekurangan dana sekitar Rp 1.460 triliun untuk proyek SDGs nasional pada 2019-2024. Adapun proyek SDGs baru ditargetkan rampung pada 2030.
Amalia Adininggar Widyasanti, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, mengatakan, APBN hanya mampu membiayai tidak sampai separuhnya, atau hanya Rp 6.750 triliun. Sisanya berasal dari sektor privat senilai Rp 6.290 triliun, tetapi belum cukup.
”Yang dibutuhkan bagaimana kita mencari sumber pendanaan baru. Tidak bisa tergantung pada pembiayaan tradisional. Ini peran dari keuangan syariah untuk mengisi gap itu. Potensi bisa dari zakat, wakaf, infak, serta inovasi seperti wakaf linked sukuk,” tutur Amalia saat menghandiri 4th Annual Islamic Finance Conference (AIFC), Kamis (25/7/2019), di Surabaya, Jawa Timur.
Wakaf linked sukuk merupakan surat utang syariah berbasis wakaf tunai. Wakaf linked sukuk merupakan bentuk investasi yang mengintegrasikan tujuan komersial dengan sosial.
Kita mencari sumber pendanaan baru. Ini peran dari keuangan syariah untuk mengisi gap itu. Potensi bisa dari zakat, wakaf, infak, serta inovasi seperti wakaf linked sukuk.
Suminto, Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mengatakan, Kemenkeu sedang mencoba mengembangkan wakaf tunai berupa wakaf linked sukuk. Dalam wakaf tunai itu, uang dari pemberi akan diinvestasikan ke sukuk negara.
Setelah itu, dana yang akan dikelola untuk pembangunan aset ataupun properti merupakan hasil dari imbal hasil sukuk negara. Wakaf linked sukuk memungkinkan pemberi dana bersifat sementara dan permanen.
Pemberi dana lebih dari Rp 5 juta bersifat sementara karena bisa menerima kembali uangnya setelah jangka lima tahun. Pemberi dana di bawah standar tersebut akan permanen. Uangnya akan terus diinvestasikan dalam program selanjutnya.
”Kita selama ini, kan, bicara wakaf selalu tanah, properti, ataupun kuburan. Baru-baru ini ada wakaf tunai. Jadi, pemberi hanya memberikan dana, nanti imbal hasil investasi baru akan dikelola menjadi aset untuk kebutuhan banyak orang,” ucap Suminto.
Dalam penerbitan pertama, Menkeu bekerja sama dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) akan menginvestasikan dana sebesar Rp 50 miliar ke sukuk negara. Program ini baru akan berjalan ketika dana mencapai standar awal, yaitu Rp 50 miliar.
Wakil Ketua BWI Iman Teguh Santoso menjelaskan, kehadiran wakaf linked sukuk memungkinkan masyarakat kelas bawah dan menengah untuk berwakaf. Sebelumnya, wakaf yang identik dengan properti hanya bisa dilakukan oleh masyarakat kelas atas.
”Ini membuat siapa saja bisa berwakaf. Dana yang diberikan nanti dibelikan sukuk lima tahun. Uang itu akan kembali, sementara manfaat akan terus mengalir,” kata Iman.
Iman menambahkan, wakaf linked sukuk memiliki dua fungsi. Pertama, dana bisa digunakan untuk membiayai aset negara secara umum, yaitu susuk. Di sisi lain, imbal hasilnya bisa digunakan untuk proyek umat yang berguna untuk kebutuhan umum.
Wakaf linked sukuk memiliki dua fungsi. Pertama, dana bisa digunakan membiayai aset negara secara umum, yaitu susuk. Di sisi lain, imbal hasilnya bisa digunakan untuk proyek umat yang berguna untuk kebutuhan umum.
Saat ini, dana yang sudah terkumpul baru Rp 15 miliar. BWI masih mencari Rp 35 miliar untuk menerbitkan seri pertama wakaf linked sukuk. Direncanakan, BWI akan mulai menjual wakaf tunai ini secara ritel.
Data BWI menyebutkan, potensi wakaf di Indonesia sangat besar. Hingga saat ini, potensi aset wakaf mencapai Rp 2.000 triliun. Jumlah itu merupakan simulasi dari jumlah luas tanah wakaf sekitar 4,1 juta hektar dikalikan rata-rata harga tanah sebesar Rp 500.000 per meter persegi.