Adolf Heuken SJ, dari Luftwaffe ke Buku Sejarah Jakarta
Rohaniwan cum sejarawan Adolf Heuken SJ (1929-2019) memiliki hidup penuh warna, dari masa Perang Dunia II di Jerman hingga mengabdikan hidup sebagai rohaniwan yang justru dikenang karena karyanya, seri buku sejarah Jakarta. Adolf Heuken SJ mengembuskan napas terakhir di RS St Carolus, Kamis (25/7/2019) malam, setelah dirawat sejak 30 Juni 2019.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Rohaniwan cum sejarawan Adolf Heuken SJ (1929-2019) memiliki hidup penuh warna, dari masa Perang Dunia II di Jerman hingga mengabdikan hidup sebagai rohaniwan yang justru dikenang karena karyanya, seri buku sejarah Jakarta. Adolf Heuken SJ mengembuskan napas terakhir di RS St Carolus, Kamis (25/7/2019) malam, setelah dirawat sejak 30 Juni 2019.
Saat melayat ke persemayaman di Kapel Sekolah Canisius, Menteng, Jumat (26/7/2019) pagi, terlihat kerabat dekat dan sahabat Adolf Heuken, di antaranya mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo yang juga alumnus SMA Canisius.
”Saya bersekolah di sini tahun 1966. Beliau datang ke Indonesia dan bertugas di Canisius tahun 1966. Semasa itu saya sudah kenal, tetapi lebih sering berinteraksi dengan Pater Magnis dengan bermain sepak bola bersama,” kata Fauzi Bowo.
Menurut Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo, kepergian Heuken adalah kehilangan besar bagi Jakarta dan Indonesia. Foke mengutip pesan Heuken, tanpa mengenal sejarah Jakarta, orang tidak akan mencintai Jakarta, termasuk juga dalam upaya melestarikan peninggalan sejarah di Jakarta.
Terlebih, hingga menjelang akhir hayat, Adolf Heuken tinggal di kawasan Menteng, salah satu daerah bersejarah yang dibangun sebagai ”Kota Taman” pertama di Indonesia pada awal abad ke-20.
Fauzi Bowo mengenang, dirinya mulai akrab dengan Adolf Heuken di tahun 1970-an, sepulang dirinya menempuh pendidikan di Jerman dan berinteraksi dengan Heuken di bawah pimpinan arsitek WP Zhong yang aktif dalam penataan, pemugaran, dan upaya pelestarian bangunan bersejarah.
Dia berharap ada regenerasi di Pemprov DKI, yakni staf-staf yang memahami pelestarian sejarah kota dan bangunan cagar budaya. Pelibatan masyarakat sipil dalam upaya melestarikan sejarah Jakarta juga harus dihidupkan kembali, seperti di masa Adolf Heuken aktif bekerja sama dengan Pemrov DKI dan para pemerhati.
Pada kesempatan yang sama, arkeolog anggota Tim Ahli Cagar Budaya Pemprov DKI, Candrian Attahiyyat, mengaku sangat kehilangan sosok Adolf Heuken SJ.
”Beliau menulis dengan jujur dan kritis dalam menelaah data yang didapat. Riset yang dilakukan untuk mencari sejarah Jakarta sampai mencari arsip ke Jerman dan Perancis,” kata Candrian.
Adolf Heuken, ujar Candrian, tidak pernah menggurui sebagai sejarawan senior. Kalau ada informasi yang belum diketahui, Heuken dengan jujur menyatakan tidak tahu dan tidak berusaha agar terlihat memahami masalah. Walaupun berbagai buku karyanya menjadi pegangan para sejarawan dan pencinta sejarah serta pelestarian sejarah kota.
Sebagai rohaniwan Katolik, minat Adolf Heuken terhadap sejarah Jakarta dan keberagaman budaya yang ada sangat mendalam. Itu dibuktikan dalam berbagai karyanya.
Selain Historical Sites of Jakarta yang sudah dicetak tujuh kali, dia juga menulis buku Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Menteng ”Kota Taman” Pertama di Indonesia, Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid I dan Jilid II, Kamus Jerman-Indonesia, Gereja-gereja di Jakarta, Kelenteng di Jakarta, dan berbagai karya tulis lainnya.
Sejarawan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Mona Lohanda, yang dihubungi per telepon mengaku sangat kehilangan. Mona mengenang, Adolf Heuken akan menolak pertanyaan soal sejarah Jakarta jika penanya belum membaca dan mempelajari terlebih dahulu buku karyanya. Heuken juga adalah rohaniwan yang membaptis Mona Lohanda.
Mantan Kepala Museum Sejarah Jakarta Tinia Budiati mengatakan, Adolf Heuken adalah sosok yang sangat hangat dan sepenuh hati mencintai Jakarta.
”Di tengah kerumunan orang banyak, kalau ada acara, pasti Pater Heuken menyapa terlebih dahulu. Tentu saja dia terlihat di tengah kerumunan karena sosok tubuhnya jangkung,” kata Tinia.
Pegiat budaya Tamalia Alisjahbana dalam testimoni 50 Tahun Adolf Heuken SJ berkarya di Indonesia berharap ada penghargaan Pemerintah Indonesia bagi Adolf Heuken yang mengabdikan hidupnya untuk menulis sejarah Jakarta yang menjadi ibu kota dan pusat kehidupan negara Indonesia.
Dalam rekaman wawancara terhadap Adolf Heuken SJ tahun 2013, dirinya menjelaskan, masa kecilnya yang mengalami masa Perang Dunia (PD) II di Eropa. Di tahun 1945, dia dan seorang saudaranya yang sudah memasuki usia remaja direkrut menjadi tentara Jerman ketika Jerman terdesak serangan Sekutu.
”Saya dipaksa masuk SS—Schuts Staffeln—atau Pasukan Pengawal Nazi—dan saya menolak. Perwira perekrut SS menghardik saya. Saya jawab sudah terdaftar di Luftwaffe atau Angkatan Udara. Saya tidak jadi penerbang karena ada gangguan penglihatan dalam membedakan warna hijau dan merah,” kata Heuken mengenang masa akhir PD II.
Setelah PD II berakhir, dirinya melanjutkan sekolah. Dia menghabiskan masa kecil di wilayah perbatasan Jerman dengan Belanda di sebelah selatan Jerman. Ayahnya adalah seorang guru yang sempat mengajar Adolf Heuken dan adiknya di sekolah tempatnya mengajar.
Selepas SMA, Adolf Heuken memutuskan untuk menjadi rohaniwan dan memasuki seminari. Dia pun mengikuti tarekat Serikat Jesuit dan memilih untuk terjun dalam misi.
Pengabdian sebagian rohaniwan tersebut mengantarnya menjejakkan kaki ke Indonesia di tahun 1963. Selanjutnya, di tengah pengabdian sebagai rohaniwan, dia kerap tergelitik pada pertanyaan tamunya yang menanyakan sejarah Kota Jakarta.
Dia pun kemudian tergerak dan mulai menggali sejarah kota Jakarta yang dicintai hingga akhir hayatnya. Cintanya pada Jakarta dan Indonesia diwujudkan dalam beragam buku sejarah yang menjadi bacaan wajib bagi orang yang ingin mengetahui masa lalu dan bentuk serta rencana penataan Jakarta serta situasi terkini kota Jakarta.
”Kalau tidak tahu sejarah tempat seseorang hidup. Dia tidak akan mencintai kotanya karena tidak mengenalnya,” pesan Adolf Heuken SJ.
Adolf Heuken SJ adalah lambang pelestarian sejarah Jakarta dalam buku–buku sejarah karyanya yang abadi, melampaui hidupnya yang penuh makna. Selamat jalan Pater Heuken, rohaniwan dan sejarawan paripurna....