Setelah disetujui DPR, Presiden bisa menerbitkan keppres pemberian amnesti kepada Baiq Nuril. Pemberian amnesti ini juga menyiratkan ada hal yang perlu diperbaiki dalam proses hukum.
JAKARTA, KOMPAS - Persetujuan DPR atas pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi pintu masuk upaya negara untuk melindungi warganya yang lemah dan tidak mendapatkan keadilan dari proses penegakan hukum.
Persetujuan pemberian amnesti tersebut juga sekaligus menunjukkan adanya proses penegakan hukum yang harus dibenahi.
Dalam rapat paripurna, Kamis (25/7/2019), DPR menyetujui pemberian amnesti oleh Presiden kepada Baiq Nuril. Setelah mendapatkan persetujuan ini, Presiden dapat mengeluarkan keputusan presiden pemberian amnesti.
Nuril merupakan korban pelecehan seksual yang kemudian justru dijerat dengan UU ITE atas dugaan menyebarkan percakapan yang berisi konten asusila. Pengadilan Negeri Mataram membebaskannya. Namun, Mahkamah Agung menyatakan Nuril terbukti melanggar Pasal 27 UU ITE dan menjatuhkan vonis enam bulan serta denda Rp 500 juta.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Cahyo Rahadian Muzhar mengatakan, pemberian amnesti adalah proses yang terpisah dari penegakan hukum itu. ”Pemberian amnesti kepada Baiq Nuril ini bukan merupakan koreksi atas putusan pengadilan. Pemerintah menghargai putusan pengadilan. Namun, karena ada permohonan amnesti, pemerintah merujuk pada Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kewenangan Presiden,” katanya.
Pertimbangan dalam pemberian amnesti itu ialah faktor kemanusiaan dan perlindungan kepada hak-hak perempuan. ”Pemerintah ingin memberikan pesan bahwa ini adalah upaya untuk memberikan perlindungan kepada yang lemah,” katanya.
Menurut Cahyo, amnesti merupakan bentuk ampunan yang sesuai dengan kasus yang saat ini dihadapi Nuril. Pemberian grasi tidak dimungkinkan karena syarat pengajuan grasi ialah minimum telah menjalani penjara dua tahun. Adapun abolisi hanya dapat dilakukan pada saat masih proses di pengadilan.
Pemberian amnesti pun tak terbatas pada kasus-kasus politik. UUD 1945 tak memberikan batasan pemberian amnesti hanya untuk kasus tindak pidana politik. Khusus untuk kasus Nuril, menurut Cahyo, pertimbangannya murni kemanusiaan.
Kepentingan negara
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, pada praktiknya banyak amnesti diberikan untuk kasus yang menyangkut kepentingan negara, dan pada umumnya terkait pidana politik. Namun, UUD 1945 tidak memberikan pembatasan dalam ketentuan itu. Dalam kasus Nuril, kepentingan negara bisa dimaknai sebagai upaya melindungi warganya dari ketidakadilan.
Menurut Bivitri, ada proses penegakan hukum yang harus dibenahi jika mengacu pada kasus ini. Sejak awal, Nuril diposisikan sebagai pelaku kejahatan. Tidak hanya hakim, jaksa dan penyidik kepolisian yang turut menyusun konstruksi hukum kasus ini juga perlu memperbaiki mekanisme kerjanya.
Kasus seperti Nuril ini pun bisa saja terulang kembali pada masa yang akan datang jika cara penegakan hukum tak diubah. ”Kasus Baiq Nuril ini menunjukkan ada masalah di dalam upaya memberikan keadilan dalam proses penegakan hukum kita sehingga upaya memberikan rasa keadilan itu harus diambil alih oleh kepala negara. Jika tidak begitu, orang yang sesungguhnya korban malah dijadikan terpidana,” kata Bivitri.
Di sisi lain, menurut Bivitri, UU ITE juga perlu ditinjau karena banyak yang menjadi korban pasal-pasal yang terlalu lentur. Perlindungan terhadap perempuan pun perlu didorong dengan pembahasan UU Penghapusan Kekerasan Seksual.