Sekitar separuh penduduk Indonesia adalah perempuan. Namun, dampak pembangunan yang mereka rasakan masih tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Tanpa perubahan struktural kuat, perempuan akan senantiasa menjadi warga negara kelas dua.
Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia 2017 mencapai 90,96. Meski angkanya mendekati 100 yang menandakan mengecilnya kesenjangan laki-laki dan perempuan, IPG yang diukur berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) itu dianggap tidak menggambarkan kondisi riil perempuan.
IPM perempuan Indonesia lebih rendah daripada laki-laki. Walau harapan lama sekolah perempuan sedikit lebih tinggi, rata-rata lama sekolah perempuan 10 persen lebih rendah daripada laki-laki. Pengeluaran per kapita perempuan pun hanya 60 persen dari pengeluaran laki-laki.
Umur harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki- laki, tetapi perempuan Indonesia masih menghadapi banyak persoalan pelik, seperti kematian ibu melahirkan, terbatasnya informasi dan layanan kontrasepsi, menjadi korban kekerasan, kebutuhan adanya penjamin laki-laki saat transaksi ekonomi, dan kurang didengar suaranya di masyarakat.
Untuk mengurangi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dan memastikan tidak satu pun orang tertinggal, Pemerintah Indonesia menggunakan kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah di tingkat nasional hingga daerah. Kerangka itu memungkinkan mobilisasi sumber daya yang dimiliki, termasuk prioritas anggaran dan kebijakan.
Meski bukan jaminan sukses mengatasi ketimpangan, itu adalah langkah awal yang baik. Tantangannya, bagaimana menerjemahkan kebijakan itu hingga tingkat bawah mengingat wilayah Indonesia yang luas dan berpulau, jumlah penduduk besar dengan beragam etnis dan budaya.
Upaya mendobrak ketimpangan jender juga dilakukan pemerintah dengan menambah jumlah perempuan menteri di posisi strategis. Sembilan dari 34 menteri atau 26,5 persennya adalah perempuan. Itu adalah jumlah perempuan menteri terbanyak dalam sejarah Indonesia dan tak banyak negara memiliki perempuan menteri sebanyak itu.
Meski demikian, pengarusutamaan jender di banyak partai politik masih menjadi masalah dengan sulitnya mencari kader perempuan. Akibatnya, meski ada kebijakan afirmasi 30 persen perempuan dalam daftar calon tetap pemilu sejak 2004, jumlah perempuan anggota parlemen selama tiga pemilu hanya 11-18 persen.
Keterlibatan perempuan dalam bisnis pun makin baik. Survei Grant Thornton tahun 2019 menyebut hanya 2 persen perusahaan Indonesia yang seluruh manajemen seniornya dikuasai laki-laki. Di bidang riset, data UNESCO 2015 menyebut, 31 persen peneliti Indonesia adalah perempuan, lebih tinggi daripada rata-rata jumlah perempuan peneliti di Asia Timur dan Pasifik, bahkan dunia.
Terkait struktur sosial
Di lapis bawah, angka partisipasi kerja perempuan pada Agustus 2018 hanya 51,88 persen, jauh tertinggal dari laki-laki sebesar 82,69 persen. Perempuan umumnya bekerja di sektor yang produktivitasnya tidak begitu tinggi dengan gaji lebih rendah dari laki-laki, bahkan ada yang bekerja tanpa digaji karena membantu suami.
Pemicu ketimpangan itu bukan semata soal kesempatan, melainkan lebih mendasar terkait struktur sosial. Dalam banyak budaya, perempuan masih belum sejajar dengan laki-laki. Mereka tidak memiliki suara dalam komunitasnya, bahkan untuk hal menyangkut kepentingan mereka langsung.
Ketimpangan ekonomi dan hal lain terkait dengan akses kekuasaan yang tidak merata. Kini, sejumlah penggiat perempuan terjun ke desa-desa membantu memberdayakan perempuan desa. Mereka didorong mau terlibat dan mampu bersuara dalam forum yang menentukan nasib mereka, seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa. Kemajuan di sejumlah desa cukup menggembirakan.
Meski demikian, tantangannya sangat besar karena harus mengubah nilai dalam keluarga dan masyarakat. Sebagian besar keluarga Indonesia dibangun atas nilai yang belum setara dengan jender. Belum lagi pola perkawinan yang masih didominasi sesama suku turut memengaruhi pandangan tentang kesetaraan identitas. Padahal, keluarga adalah institusi paling mendasar dalam masyarakat.
Tantangan lain yang cukup besar adalah menguatnya konservatisme agama. Doktrin agama sering dimanfaatkan guna melanggengkan ketidaksetaraan jender. Meski tidak mudah dan penuh tantangan, perempuan sebagai warga negara berhak mendapatkan akses dan manfaat pembangunan yang sama karena andil mereka pun serupa seperti laki-laki. Upaya perubahan struktural perlu dilakukan semua pihak karena perempuan bukan warga negara kelas dua.