Ekonomi China dijanjikan semakin terbuka dan semakin ramah terhadap investasi asing. Internasionalisasi renminbi menjadi bagian dari upaya itu.
JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah China menjanjikan ekonominya lebih terbuka dan lebih ramah terhadap investor. Perang dagang antara China dan Amerika Serikat tidak menghalangi kesempatan bagi negara-negara lain untuk meningkatkan hubungan dagang dengan China.
Penasihat Menteri Ekonomi dan Komersial Kedutaan Besar China di Indonesia, Wang Liping, mengatakan, aneka stimulus diluncurkan seiring dengan pengurangan aneka aturan investasi di China. Hal itu menjadi bukti China semakin terbuka dan siap menerima lebih banyak investor asing.
”Kami semakin terbuka dengan para investor. Ini diharapkan dapat dimanfaatkan juga oleh investor-investor di Indonesia,” kata Wang saat menjadi pembicara kunci dalam FPCI- BOC CFO Forum 2019 di Jakarta, Kamis (25/7/2017).
Acara itu digelar Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) dan Bank of China. Turut mendukung acara yaitu Kamar Dagang dan Industri China di Indonesia.
Kepala Ekonom Bank of China E Zhihuan mengatakan, China telah meresmikan 12 aturan untuk memperluas pembukaan sektor perbankan dan asuransi. Upaya diperluas dengan diumumkannya rencana-rencana untuk menghilangkan batasan- batasan kepemilikan di institusi keuangan lokal.
”Ini tak semata untuk mengundang lebih banyak investor asing, tetapi sekaligus mendorong kehadiran pakar asing dan berpengalaman ke pasar domestik,” kata Zhihuan.
Manajer Wilayah Bank Of China di Jakarta, Zhang Chaoyang, mengatakan, tahun ini merupakan sepuluh tahun internasionalisasi mata uang renminbi. Menurut Zhang, melalui internasionalisasi renminbi, penyelesaian transaksi antarwilayah terus meluas.
Mantan Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan, yang hadir sebagai salah satu pembicara, mengatakan, dunia saat ini memberikan tantangan baru seiring kecenderungan meningginya ketimpangan ekonomi dan mundurnya multilateralisme. Perdamaian dan stabilitas menjadi mutlak sifatnya. Polarisasi kondisi saat ini mendapatkan tekanan baru berupa perang dagang AS-China.
”Bagaimana Asia Tenggara merespons aneka tantangan itu, melihatnya sebagai kesempatan atau ancaman. Bagi saya, semua itu adalah kesempatan bagi kita di sini,” kata Gita.
Peluang renminbi
Internasionalisasi renminbi China, dinilai Gita, sebagai hal yang patut disimak. Meski saat ini penggunaan mata uang renminbi baru mencakup 2 persen dari total transaksi bisnis di dunia, dalam jangka panjang cakupan transaksi dengan renminbi berpeluang naik.
Hal itu seiring dengan sepak terjang China secara global. Langkah China menggenjot megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan dinilainya menjadi peluang perluasan cakupan penggunaan renminbi.