Perhelatan pemilu yang telah usai tidak berarti ”drama” politik di Tanah Air telah berakhir. Dalam dua pekan terakhir ini, ”drama” politik di panggung depan yang bisa disaksikan publik bahkan makin memicu rasa penasaran.
Menarik mengutip kembali kajian antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, yang meneliti sistem politik dan kekuasaan kerajaan Bali pada abad ke-19. Gambaran umum kerajaan Bali itu mencitrakan suatu negeri yang penuh simbol dan upacara. Konsep kekuasaan dilengkapi dengan sutradara, yang memiliki dan mengendalikan kekuasaan, dan kekuasaannya itu dimainkan dalam dramaturgi yang disaksikan rakyat banyak sebagai penonton. Indonesia dalam kacamata permainan simbol adalah suatu negeri teater, yang perpolitikannya tak lepas dari sutradara, aktor-aktornya, dan penonton.
”Drama” politik itu diawali dengan pertemuan antara presiden terpilih Joko Widodo dan mantan rivalnya pada Pemilu 2019, Prabowo Subianto, pada 13 Juli 2019, di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta. Pertemuan itu ditanggapi beragam oleh publik, yang antara lain terlihat dari komentar mereka di media sosial. Banyak yang memuji, tetapi juga ada warga yang merasa tidak puas.
Pada Rabu (24/7/2019), publik menyaksikan pertemuan Prabowo dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri yang membuka jalan baru bagi kemungkinan kerja sama dalam membangun Indonesia bersama-sama.
Megawati mengatakan, dalam pertemuan itu tidak ada oposisi dan koalisi di sistem ketatanegaraan Indonesia. Perbedaan pilihan politik boleh saja, tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara, pintu diskusi terbuka lebar.
Acara bincang Satu Meja The Forum yang ditayangkan Kompas TV dan dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (24/7) malam, membahas beragam perspektif dari pertemuan tersebut.
Hadir dalam acara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Marsudi Syuhud, Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Sekjen Partai Nasdem Johnny Plate, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wibowo, dan pakar komunikasi politik Effendi Gazali.
Publik tidak tahu detail apa isi pertemuan antara Prabowo dan Megawati, selain apa yang disampaikan kedua tokoh itu usai pertemuan. Namun, publik membaca sejumlah sinyal, antara lain soal kemungkinan masuknya Gerindra ke pemerintahan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, atau pun negosiasi mengenai posisi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Hasto mengatakan, pertemuan itu sudah direncanakan lama. Bahkan, sejak Asian Games 2018, ada keinginan Prabowo untuk bertemu Mega. Pertemuan di rumah Mega, Rabu lalu ialah realisasi dari keinginan lama itu. “Pak Prabowo antara lain mengatakan kangen nasi goreng Bu Mega,” katanya.
Namun, sinyalemen adanya diskusi dengan Gerindra dan kelompok lain di luar koalisi tidak ditampik Hasto. Menurut dia, kedua tokoh banyak berbicara soal kepentingan bangsa dan negara ke depan. PDI-P dalam posisi ingin menegaskan Pancasila sebagai ideologi, atau “the way of life.”
“Kami punya semangat gotong-royong, kerja sama. Karena menurut kami tidak ada koalisi dan oposisi yang berhadapan secara ekstrem. Karena tidak ada pembelahan yang ekstrem, dan ruang-ruang kerja sama itu pun telah ada dalam pilkada, DPR. Kalau toh ada koalisi pascapilpres, itu dilakukan dalam rangka memperkuat sistem presidensial dan memperkuat ideologi Pancasila,” katanya.
Riza menolak bila partainya dinilai meminta-minta jatah menteri dalam pertemuan itu. Sebab Prabowo sejak awal menegaskan ingin berkontribusi di mana pun bagi bangsa dan negara. “Tidak harus di kabinet. Jadi oposisi bukan sesuatu yang hina. Lebih baik menjadi oposisi bila bisa berkontribusi positif, dari pada ada di dalam yang justru jadi beban. Jadi pendapat Gerindra bukan soal di dalam atau di luar, tetapi di mana pun bisa berkontribusi,” katanya.
Effendi membaca pertemuan Prabowo dan Mega sebagai momen yang multi-interpretasi, sekalipun sejatinya pertemuan kedua tokoh itu dipandang positif. Bagi sejumlah parpol lain yang juga anggota koalisi pendukung Jokowi-Amin, pertemuan Mega-Prabowo bisa dianggap “mengancam” karena terbuka kemungkinan untuk “mengurangi” jatah partai koalisi dalam distribusi kekuasaan.
Pertemuan empat ketua umum parpol anggota koalisi, yakni Partai Kebangkitan Bangsa, Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Golkar, di kantor DPP Nasdem, sehari sebelum pertemuan Mega-Prabowo, menimbulkan dugaan koalisi pendukung Jokowi-Amin mulai tidak solid. “Bisa saja di satu sisi ada yang merasa kami telah bekerja keras loh. Habis pemilu jangan digoyang-goyang kursi saya,” kata Effendi.
Jhonny mengatakan, pertemuan di kantor Nasdem itu terjadi karena ketiga ketum parpol lainnya ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Surya Paloh, Ketua Umum Nasdem. Bersamaan dengan itu, mereka menegaskan lagi bahwa koalisi solid, sehat, kuat. Jhonny meminta agar pertemuan di kantor Nasdem itu tidak ditafsirkan bahwa koalisi pecah.
Sementara itu, Drajad mengatakan, PAN menilai anggota koalisi lebih berhak dalam menempati formasi kabinet, dan PAN tidak dalam posisi untuk meminta-minta. “Kami malu hati untuk melakukan itu,” katanya.
Rangkaian pertemuan yang menjadi drama politik di Tanah Air pun dilihat sebagai sesuatu yang khas Indonesia. Marsudi mengatakan, musyawarah mufakat digerakkan dengan pertemuan. “Ketika musyawarah sudah ketemu di luar ring, kan, tinggal senyam-senyum, dan salaman saja. Mudah-mudahan sudah ketemu di luar ring itu. Sekarang makan nasi goreng, besok bakso solo yang besar, atau sate padang. Nah, yang begitu itu, kan budaya Indonesia,” ujarnya.