Hubungan Kerabat di Balik Kasus Polisi Tembak Polisi
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti mengatakan, kasus polisi tembak polisi di Sentra Pelayanan Polsek Cimanggis, Kamis (25/7/2019) menunjukkan tindakan sewenang-wenang dalam penggunaan senjata api. Di sisi lain juga menunjukkan intervensi pelaku karena ada hubungan kekerabatan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY/INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Brigadir RT menembak Brigadir Kepala Rachmat Effendy di Kepolisian Sektor Cimanggis, Depok, Jawa Barat, karena menolak permintaan untuk menghentikan proses hukum terhadap keponakannya. Padahal, keponakannya, FZ, merupakan pelaku tawuran.
Penembakan ini terjadi di Sentra Pelayanan Kepolisian Sektor (Polsek) Cimanggis, Kamis (25/7/2019) pukul 20.50 WIB. Rachmat tewas di lokasi kejadian dengan luka tembak di leher, dada, perut, dan paha.
”Kejadian ini karena salah paham dan situasi memanas. Sekali lagi jadi catatan, pelaku atas nama Brigadir RT merupakan paman dari FZ. RT sedang dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Kepolisian Negara RI (Polri) Komisaris Besar Asep Adi Saputra di Markas Polri, Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Asep menuturkan, Rachmat merupakan pemerhati lingkungan dalam Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdar Kamtibmas) di wilayah tempat tinggalnya. Sebelum peristiwa naas ini, ia mendapat laporan tentang tawuran sekelompok anak muda.
Ia menangkap salah satu pelaku tawuran bernama FZ yang membawa celurit. Lantas, membawanya ke Polsek Cimanggis.
”Orangtua FZ, Zulkarnaen, bersama Brigadir RT datang ke polsek. Ia meminta agar FZ diserahkan kepada keluarganya untuk dibina. Rachmat menolak permintaan ini karena ada barang bukti celurit sehingga harus diproses hukum,” kata Asep.
Saat itu, lanjut Asep, intonasi suara Rachmat agak keras sehingga menyulut emosi RT. RT tidak terima dan keluar ruangan mempersiapkan senjata api jenis HS-9. RT kembali ke ruangan, lalu menembak Rachmat sebanyak tujuh kali.
Asep memastikan bahwa RT diizinkan memegang senjata organik tersebut. Itu berarti, ia telah melewati prosedur izin memegang senjata, psikotes, pemeriksaan catatan personel terkait perilaku keseharian, dan pelanggaran yang pernah dilakukan.
Untuk penanganan kasus ini, pertama-tama polisi akan memproses RT secara hukum. Kemudian dilakukan pemeriksaan psikologi, cek urine, dan catatan kepolisian.
”Penanganan hukum RT masuk ranah tindak pidana umum karena membunuh korban dengan penembakan. Setelah itu, akan dilakukan cek kondisi psikologis, termasuk cek urine, dan catatan kepolisian selama memegang senjata,” kata Asep.
Penanganan hukum RT masuk ranah tindak pidana umum karena membunuh korban dengan penembakan. Setelah itu, akan dilakukan cek kondisi psikologis, termasuk cek urine, dan catatan kepolisian selama memegang senjata.
Sewenang-wenang
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti mengatakan, kasus ini menunjukkan tindakan sewenang-wenang dalam penggunaan senjata api. Di sisi lain juga menunjukkan intervensi pelaku karena ada hubungan kekerabatan.
Padahal pelaku seharusnya menghormati proses hukum. ”Harus menjadi koreksi agar ke depannya tidak berulang, khususnya konflik kepentingan dalam kasus ini yang berdampak fatal,” kata Poengky.
Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane menjelaskan, berkaca dari kasus ini, kepolisian harus kembali dan terus mendata serta mengevaluasi kondisi psikologis semua anggota, khususnya yang memegang senjata api.
Ada banyak hal yang melatarbelakangi penembakan sesama polisi. Salah satunya arogansi yang masih kental dalam budaya kepolisian. Hal ini menjadi tekanan tersendiri bagi polisi dalam menjalankan tugas dan menjadi penyebab mudahnya tersulut emosi sehingga berperilaku beringas dan sadis.
Ada banyak hal yang melatarbelakangi penembakan sesama polisi. Salah satunya arogansi yang masih kental dalam budaya kepolisian.
”Para atasan perlu lebih peduli lagi untuk mencermati sikap perilaku jajaran agar tidak menjadi beringas secara tiba-tiba seperti di Depok. Apalagi intervensi dalam penanganan kasus,” kata Neta.
Pakar forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, tembakan yang sedemikian banyak merupakan hal yang tidak wajar. Tembakan ini terkait dengan isi pembicaraan yang menyebabkan emosi naik tajam. Juga relevan untuk mengecek kemungkinan adanya pengaruh narkoba.
”Kalau sebatas nada agak keras, itu biasa dalam komunikasi di lembaga kepolisian. Apalagi dalam konteks senior (Bripka) kepada yunior (Brigadir),” ucap Reza.
Menurut Reza, keberadaan senjata api memang melipatgandakan agresivitas. Berdasarkan teori efek senjata, keberadaan senjata membuat individu bisa terprovokasi sewaktu-waktu untuk menggunakan senjatanya.
Ini bisa terjadi meskipun tanpa niat untuk menggunakan senjata sejak awal. ”Bayangkan jika efek senjata itu bertemu dengan rangsangan dari luar (emosi),” ujarnya.
Ia menambahkan, kemungkinan gesekan antarsatuan di internal institusi bisa saja terjadi. Akan tetapi, gesekan semacam itu sebenarnya lebih sering terjadi antarinstitusi.