KPK memeriksa sejumlah pejabat daerah dan pengusaha di Kepulauan Riau terkait dugaan suap izin rencana lokasi reklamasi yang menyeret Gubernur Nurdin Basirun sebagai tersangka. Salah satu yang diperiksa adalah Walikota Batam, Muhammad Rudi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memeriksa sejumlah pejabat daerah di Kepulauan Riau, termasuk Walikota Batam Muhammad Rudi, Jumat, (26/7/2019). Pemeriksaan merupakan pendalaman terhadap kasus dugaan suap izin lokasi rencana reklamasi yang menyeret Gubernur Kepulauan Riau nonaktif Nurdin Basirun sebagai tersangka.
Rudi mengatakan, dirinya dimintai keterangan terkait Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Zonasi Pantai dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Karena selama 20 tahun ke depan, Perda RZWP3K akan menjadi dasar hukum pengelolaan pesisir di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
“Tadi diminta keterangan soal alasan saya menolak Ranperda RZWP3K. Saya tidak menginginkan ada penambangan pasir laut di Batam,” kata Rudi.
Pembahasan Ranperda RZWP3K yang draftnya telah selesai dibuat sejak September 2018 itu tersendat karena Pemko Batam menolak rencana tambang pasir laut. Alasannya, tambang pasir laut dinilai tidak cocok berada dekat pulau kecil yang penduduknya mayoritas berprofesi sebagai nelayan.
“Seluruh Batam saya minta tidak ada pertambangan pasir laut,” ucap Rudi.
Dalam agenda pemeriksaan hari ini KPK juga memanggil Wakil Ketua Panitia Khusus Ranperda RZWP3K Iskandarsyah, Sekretaris Daerah Pemprov Kepri Arif Fadilah, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kepri Firdaus, dan Kepala Seksi Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri Tahmid.
Iskandaryah yang juga merupakan anggota Komisi II DPRD Kepri dari Fraksi PKS diperiksa selama enam jam oleh KPK di Markas Polresta Barelang. Pemeriksaan terkait mekanisme penerbitan Ranperda RZWP3K. Ia dicecar sejumlah pertanyaan mengenai penyebab terhambatnya pembahasan ranperda itu.
Seluruh Batam saya minta tidak ada pertambangan pasir laut. (Muhammad Rudi)
“Ranperda RZWP3K belum disahkan DPRD Kepri karena ada sejumlah titik reklamasi yang belum disepakati bersama oleh Pemprov Kepri, Pemko Batam, dan Badan Pengusahaan Batam,” kata Iskandarsyah.
Kelompok Kerja Ranperda RZWP3K Pemprov Kepri awalnya mencantumkan 85 titik reklamasi, kemudian ditambah, menjadi 114 titik, dan terakhir dikurangi lagi menjadi 42 titik. Proses tawar-menawar inilah yang akhirnya menimbulkan suap.
Lamanya proses pembahasan itu memberi kesempatan bagi tersangka pemberi suap, Abu Bakar, untuk menyerahkan sejumlah uang kepada Nurdin agar memasukkan rencana reklamasi di Tanjung Piayu diakomodasi ke dalam Ranperda RZWP3K. Padahal, lokasi itu merupakan kawasan hutan lindung.
Pemprov Kepri awalnya mencantumkan 85 titik reklamasi, kemudian ditambah, menjadi 114 titik, dan terakhir dikurangi lagi menjadi 42 titik. Proses tawar-menawar inilah yang akhirnya menimbulkan suap.
“Izin reklamasi yang turun sebelum ranperda disahkan memang jadi pertanyaan. Padahal, pada November 2018, DPRD Kepri telah mengimbau proses pemberian izin reklamasi harus menunggu pengesahan Ranperda RZWP3K,” kata Iskandarsyah.
Ia memperkirakan, selama ini pemprov menggunakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kepri sebagai dasar pemberian izin reklamasi. Padahal RTRW merupakan dasar pengelolaan wilayah darat, untuk pengelolaan laut seharusnya mengacu pada RZWP3K.