Krisis Cadangan Air Bersih Jakarta
Cadangan air tanah Jakarta sesungguhnya sangat terbatas meski cekungan air tanah Jakarta mencapai 1.439 kilometer persegi.
Luas itu kira-kira dua kali lipat luas DKI Jakarta. Semula dasar cekungan air tanah Jakarta bersifat datar dan tebal atau dalam. Namun, menurut penelitian Delinom dkk (2015) dari laman Amrta Institute, dasar cekungan air tanah Jakarta ternyata bukan merupakan garis yang melandai dari selatan ke utara, tetapi menunjukkan adanya struktur tinggian dan rendahan serta lebih tipis dari yang selama ini diperkirakan. Hal itu berimplikasi pada cadangan air tanah Jakarta yang jumlahnya mungkin lebih sedikit dari keyakinan sebelumnya.
Ketersediaannya pun cenderung menurun seiring dengan semakin menurunnya daerah tangkapan air di wilayah hulu, yaitu Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur). Dahulu, daerah Bopunjur merupakan pegunungan yang mempunyai curah hujan 3.500-4.000 mm/tahun (lebih tinggi dari Jakarta: 2.000 mm/tahun) sehingga merupakan daerah potensial sebagai tangkapan, cadangan, dan suplai air tanah bagi Jakarta.
Namun, pada tahun 2013, data pola kontur tanah Jakarta menunjukkan perubahan. Peta kondisi muka air tanah dari Dinas Tata Air DKI Jakarta menunjukkan, selama 1950 hingga 2013 terjadi penurunan muka air tanah secara drastis. Tahun 1950, di wilayah utara masih bisa didapatkan air tanah dangkal hingga kedalaman 10 meter dan di selatan hingga kedalaman 50 meter.
Namun, sejak tahun 2013, untuk mendapatkan air tanah di wilayah Jakarta Utara harus mengambil di lapisan air tanah dalam hingga kedalaman 20 meter. Wilayah pesisir tidak mendapat ”jatah” air tanah dalam. Air tanah dangkal baru bisa didapat di wilayah selatan di Pasar Minggu, Kramatjati, dan Cilandak dengan kedalaman 20 meter. Sementara di wilayah Jagakarsa dan Ciracas masih bisa didapat, tetapi sampai kedalaman 40 meter.
Kondisi demikian tentu makin parah pada saat ini ketika daerah tangkapan air di Bopunjur dan ruang terbuka hijau di Jakarta semakin berkurang. Meski demikian, sebenarnya di atas kertas air tanah tidak akan habis. Melalui proses daur ulang hidrologi, secara bertahap, air tanah akan mendapat suplai dari proses infiltrasi. Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Namun, syaratnya, celah dan pori tanah tidak boleh tertutup lapisan beton/semen.
Pencemaran air tanah
Selain terbatas, air tanah di Jakarta juga telah tercemar. Berdasarkan catatan Balai Konservasi Air Tanah, Desember 2015, dari 85 lokasi sumur pengamatan pada lapisan akuifer bebas, hanya di 16 lokasi yang memenuhi baku mutu. Untuk akuifer tertekan, dari 69 lokasi sampel, hanya 12 lokasi yang airnya memenuhi baku mutu.
Sebaran air tanah dengan kualitas tidak sesuai baku mutu pada akuifer tertekan ada di bagian utara, barat, dan timur. Air tanah berkualitas baik cenderung ada di wilayah selatan, seperti di Jagakarsa, Pondok Cina, dan Cijantung. Hasil pemantauan itu menunjukkan, kondisi air tanah dalam di wilayah selatan jauh lebih baik dibandingkan dengan di wilayah utara, barat, dan timur.
Sebaliknya, pada pemantauan di akuifer tidak tertekan, kualitas air di atas baku mutu tersebar di wilayah barat (Bandara, Joglo, Kemanggisan) dan timur (Kramatjati, Duren Sawit, Halim Perdanakusuma, Teluk Pucung). Selebihnya, kondisi air tanah dangkal di wilayah lainnya terancam tercemar. Bahkan, di wilayah selatan pun harus mengebor lebih dalam sampai batas akuifer tertekan untuk mendapatkan kualitas air tanah yang baik.
Air tanah di wilayah utara, barat, dan timur mengandung garam. Sumur yang air tanahnya mengandung garam berlebih, antara lain, ditemukan di sekitar Cengkareng, Kamal Muara, Penjaringan, Ancol, Cakung, sekitar Bekasi, bahkan di Kuningan, Jakarta Selatan. Kandungan garam tersebut berasal dari intrusi air laut, terutama untuk wilayah utara Jakarta.
Selain itu, di beberapa tempat di Jakarta, air tanahnya mengandung kalium permanganat, di antaranya di Rusunawa Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat. Hasil pemeriksaan Laboratorium Kesehatan Daerah menunjukkan, air sumur di rusunawa tersebut mengandung kalium permanganat yang jika kadarnya berlebihan bisa menyebabkan kulit warga iritasi dan gatal-gatal.
Tidak disadari
Namun, belum seluruh masyarakat menyadari perihal keterbatasan air tanah di Ibu Kota. Warga juga cenderung tidak melakukan upaya konservasi air tanah. Hal itu tertangkap pada beberapa jajak pendapat Kompas. Hampir 80 persen warga Jakarta menilai pasokan air bersih di Jakarta tidak terbatas. Bahkan, hampir separuh responden berpandangan, sumber air bersih terbesar di Jakarta berasal dari air tanah.
Penilaian tersebut wajar terjadi karena pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan air baku warga Jakarta melalui air perpipaan. Sampai saat ini, air tanah masih menjadi andalan semua warga Jakarta. Kemudahan mendapatkan air tanah dangkal di berbagai tempat di Jakarta semakin memperkuat persepsi bahwa persediaan air tanah tak terbatas. Istilahnya, jika ada uang, seberapa pun kedalaman yang diperlukan untuk membuat sumur bor akan dilakukan.
Akibatnya, pengambilan air tanah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Catatan Dinas Tata Air DKI Jakarta tahun 2011 menunjukkan, jumlah pemakaian air tanah mencapai 7,2 juta meter kubik yang diambil dari 4.231 lokasi. Tahun 2014 meningkat menjadi 8,8 juta meter kubik dari 4.431 lokasi. Itu baru dari data sumur legal yang biasanya merupakan sumur air dalam dan belum termasuk sumur-sumur dari air tanah dangkal yang biasanya digunakan oleh rumah tangga.
Pada musim kemarau 2015, sebagian warga sempat khawatir air tanah tak bisa lagi didapat. Saat itu, solusi yang diambil warga adalah memperdalam sumur selain membeli di penjaja air. Dari penelusuran pemberitaan Kompas tahun 2015, kasus kekurangan air tanah terjadi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.
Meski sempat khawatir, masyarakat tidak tergerak untuk melakukan upaya konservasi air tanah. Hasil jajak pendapat Kompas 2015 menunjukkan, sebagian besar warga (61,4 persen) belum berupaya untuk menyimpan kembali cadangan air tanah. Padahal, upaya membuat sumur resapan, sumur biopori, dan menyisakan lahan untuk lahan nonterbangun sudah merupakan upaya konservasi air tanah.
Nyatanya, pembangunan terus dilakukan di setiap jengkal lahan di Jakarta sehingga hanya menyisakan sangat sedikit ruang terbuka hijau untuk areal penyerapan air. Sampai tahun 2015, proporsi ruang terbuka hijau Jakarta baru 9,98 persen, jauh dari target ruang terbuka hijau perkotaan sebesar 30 persen.
Pembangunan bangunan vertikal di Jakarta juga menimbulkan kekhawatiran bagi pasokan air tanah. Di satu sisi, bangunan vertikal dibangun untuk meningkatkan efisiensi lahan di Jakarta yang terbatas. Namun, karena PD PAM Jaya belum bisa memenuhi kebutuhan air baku secara menyeluruh, rata-rata bangunan vertikal menggunakan air tanah dalam (minimal 100 meter) sebagai persediaan air gedung meski secara aturan sebenarnya tidak dibenarkan.
Pemerintah menyadari hal itu dan membatasi penggunaan air tanah dengan menerapkan pajak air tanah sejak 2005 dan aturannya terus diperbarui pada 2010 dan 2017. Namun, hingga kini, hal itu juga belum efektif membatasi pengambilan air tanah.
Kenyataannya, masih ada beberapa pihak yang mengambil air tanah dalam tanpa minta izin kepada pemerintah untuk menghindari pengenaan pajak. Pada saat yang sama, jumlah petugas Dinas Tata Air yang bertugas mengawasi izin keberadaan sumur dalam terbatas. Tak hanya itu, pihak yang sudah mengantongi izin sumur dalam pun masih menunggak pajak.
Dengan berbagai persoalan tersebut, air tanah Jakarta mungkin masih bisa didapat hingga sepuluh tahun ke depan meski dengan berbagai upaya. Namun, krisis air bersih di Jakarta ini bagaikan bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Jika warga Jakarta tidak bijak menggunakan air perpipaan dan air tanah, krisis air bersih akan benar-benar terjadi. (Litbang Kompas)