Memberi Ruang Keterlibatan Anak
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
(Kahlil Gibran)
Puisi Kahlil Gibran ini menggambarkan betapa orangtua sebenarnya tidak memiliki sepenuhnya atas anak-anak mereka. Anak-anak adalah titipan Tuhan dan orangtua memiliki peran untuk menyiapkan dan mendampingi mereka untuk bisa menghadapi kehidupannya dengan menjadi diri mereka sendiri.
Boleh jadi pesan Gibran ini juga relevan dengan kita hari ini. Relasi yang baik antara orangtua dan anak menjadi cermin bagaimana masa depan perkembangan mereka sebagai anak. Semakin bertambah usia tentu anak membutuhkan pola relasi yang berbeda.
Anak yang menjelang usia remaja harus dibuka kesempatannya untuk berkembang sesuai dengan jiwanya. Secara umum orangtua relatif terbuka untuk memberikan ruang bagi anaknya untuk berkembang sesuai keinginan buah hatinya tersebut.
Setidaknya hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu yang menangkap pesan mayoritas orangtua memang berkeinginan kehidupan anaknya jauh lebih baik dibandingkan dengan ayah dan ibunya. Sebanyak 90,3 persen responden, yang sebagian besar sudah memiliki buah hati ini, akan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menunjukkan keinginan dan harapannya sendiri tanpa harus dipaksa atau mengikuti keinginan orangtua. Secara umum, hal itu disampaikan oleh semua kelompok orangtua, baik dari latar belakang pendidikan maupun kelompok usia.
Meskipun secara umum hampir sama, kelompok orangtua dengan pendidikan lebih tinggi porsinya lebih banyak yang memosisikan diri sebagai orangtua yang terbuka dan memberikan kesempatan anaknya berkembang dibandingkan dengan kelompok orangtua yang latar belakang pendidikannya lebih rendah.
Dari kelompok orangtua pendidikan menengah dan tinggi, masing-masing tercatat di atas 90 persen yang mengambil peran sebagai orangtua yang terbuka dan tidak terlalu mengekang pilihan anaknya untuk berkembang. Sementara dari kelompok responden pendidikan rendah tercatat 84 persen.
Sementara dari kelompok usia, kelompok orangtua berusia muda cenderung lebih terbuka dibandingkan dengan kelompok responden berusia lebih tua. Usia muda yang diwakili oleh kelompok responden berusia 20-30 tahun dan 31-40 tahun tercatat di atas 90 persen masing-masing dari mereka memilih menjadi orangtua yang terbuka.
Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok responden orangtua yang berada dari kelompok usia lebih tua, baik kelompok usia 41-50 tahun maupun kelompok usia lebih dari 50 tahun, masing-masing di antara mereka di bawah 90 persen yang memilih terbuka.
Kesempatan memilih
Dalam menentukan pilihan dan sikap, sebagian besar responden dalam jajak pendapat ini relatif terbuka untuk memberikan kesempatan kepada anak-anaknya. Mereka diberi keleluasaan untuk bersikap sesuai dengan pemikiran dan harapan mereka, tentunya sesuai dengan tahap usia anak.
Dalam beberapa hal, terutama terkait dengan keseharian, anak dilibatkan dalam proses melahirkan keputusan dalam keluarga. Keputusan bersama dengan melibatkan anak menjadi jalan tengah bagi orangtua untuk melibatkan sekaligus mendidik anak-anaknya.
Sebut saja ketika memilih kebutuhan anak, tujuan jalan-jalan keluarga, bahkan sampai memilih teman bagi anak, cenderung lebih memilih untuk didiskusikan dalam keluarga yang menjadi pilihan bagi sebagian responden. Orangtua dan anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat dan keinginan sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing. Keputusan yang diambil pun lahir dari diskusi bersama antara orangtua dan anak.
Hasil jajak pendapat ini menangkap kecenderungan tersebut. Rata-rata dari hal terkait dengan memilih barang untuk anak, memilih lokasi untuk jalan-jalan, dan memilih teman bermain untuk kepentingan anak sebagian besar responden cenderung melibatkan anak dan nantinya diputuskan bersama antara orangtua dan si anak.
Sebanyak 50,5 persen responden tetap akan melibatkan diri dalam urusan pilihan politik anak, terutama ketika mendiskusikannya.
Cara ini relatif lebih pas, khususnya bagi anak-anak yang beranjak remaja, mereka para milenial yang sudah akrab dengan dunia informasi yang terbuka dan digital. Agustina Hendriati dalam artikelnya di buku Mempersiapkan Generasi Milenial Ala Psikolog (2018) menyebutkan, anak perlu dididik berpikir kritis dan salah satu upaya menuju arah ini adalah mengajak anak untuk berpikir terbuka.
Untuk itu, orangtua harus menjadi teladan. ”Jika kita sering memaksakan kehendak kita dan tidak mau mendengar pendapat orang lain, maka sulit mengajarkan anak tentang keterbukaan dan penghargaan terhadap orang lain”, tulis Hendriati dalam artikelnya.
Tentu saja, tidak semua hal kemudian bisa dilakukan dengan model keputusan bersama ini. Jajak pendapat juga menguji kepada responden soal pilihan politik. Sebagian besar responden mengaku soal pilihan politik tidak dilakukan dengan keputusan bersama. Mereka cenderung nantinya menyerahkan urusan ini kepada anak yang bersangkutan.
Sebanyak 50,5 persen responden tetap akan melibatkan diri dalam urusan pilihan politik anak, terutama ketika mendiskusikannya. Namun, keputusan soal pilihan politik tersebut tetap menjadi wilayah anak untuk memutuskan pilihan politiknya tersebut. Sebagian besar pilihan untuk melibatkan anak dan menyerahkan keputusan pilihan politik kepada anak disampaikan oleh kelompok responden dengan latar pendidikan kelas menengah dan tinggi.
Soal memberikan kebebasan anak dalam pilihan politik sebenarnya juga tergambar dari sejumlah hasil survei Litbang Kompas. Ada kecenderungan pemilih relatif lebih otonom dalam menentukan pilihan politik. Namun, bukan berarti pengaruh keluarga tidak ada.
Faktor keluarga tetap muncul sebagai referensi lain bagi pemilih sebelum menentukan pilihan politiknya. Pilihan anggota keluarga juga memiliki kecenderungan membentuk sikap atau pilihan politik anggota keluarga.
Isu keluarga
Tradisi musyawarah di keluarga dalam memutuskan sejumlah hal, terutama terkait dengan kepentingan anggota keluarga dan anak, termasuk dalam pilihan politik, ternyata tidak serta-merta bisa dilakukan jika ada masalah di antara orangtua. Terkait dengan konflik suami-istri atau persoalan keuangan keluarga, misalnya, ada kecenderungan keraguan dari responden untuk melibatkan persoalan ini bersama anak.
Baca juga: Sudahkah Hak Anak atas ASI Terpenuhi?
Hal ini tampak dari hasil jajak pendapat di mana responden cenderung terbelah dalam menyikapi persoalan ini. Dalam hal konflik suami-istri, sebagian responden (47 persen) bersedia untuk membuka dan melibatkan anak. Namun, sebagian yang lain (48 persen) cenderung menghindari dan tidak melibatkan anak.
Orangtua harus memberikan ruang bagi anak untuk lebih terlibat demi perkembangan mereka.
Hal ini sedikit berbeda jika menyangkut persoalan ekonomi keluarga. Separuh lebih responden justru bersedia dan tidak ada masalah jika hal ini dikomunikasikan dengan anak. Tentu saja, hal ini tidak lepas karena berdampak langsung terhadap anak itu sendiri.
Baca juga: Akta Kelahiran Anak Bukti Legal Kehadiran di Dunia
Misalnya, dalam memilih sekolah maupun belanja kebutuhan anak, tentu hampir semua kebijakan orangtua akan menyesuaikan kemampuan ekonomi sebagai penentu. Bagi mereka, hal ini penting untuk dikomunikasikan kepada anak.
Baca juga: Jangan Abaikan Imunisasi Anak
Catatannya adalah tidak semua hal terkait dengan masalah di dalam keluarga harus melibatkan anak. Namun, semua hal yang terjadi dalam keluarga pasti akan berdampak terhadap semua anggota keluarga. Untuk itu, orangtua harus memberikan ruang bagi anak untuk lebih terlibat demi perkembangan mereka.
Kesempatan itulah yang menjadi pintu bagi anak untuk matang dalam kehidupannya kelak. Seperti yang Kahlil Gibran bilang, ”Engkaulah busur asal anakmu, anak panah hidup, melesat pergi”. (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)
Baca juga: Jebakan Rokok untuk Masa Depan Anak