Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara menemukan dugaan malaadministrasi atas keputusan Bupati Simalungun yang menghentikan 1.695 guru bukan sarjana dari jabatan fungsionalnya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara menemukan dugaan malaadministrasi atas keputusan Bupati Simalungun Jopinus Ramli Saragih yang menghentikan 1.695 guru bukan sarjana dari jabatan fungsionalnya. Keputusan itu melanggar prinsip peningkatan kualifikasi akademik guru, yaitu tidak boleh meninggalkan tugas mengajar di sekolah.
”Bupati malah menghentikan guru dari jabatan fungsionalnya. Ini membuat para guru tidak boleh mengajar karena telah dicopot dari jabatan fungsional guru. Padahal, Simalungun sendiri kekurangan guru,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar di Medan, Jumat (26/7/2019).
Abyadi mengatakan, program peningkatan kualifikasi akademik guru diatur melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No 74/2009 tentang Guru, dan Permendiknas No 16/2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Aturan itu mensyaratkan guru minimal berpendidikan strata-1.
Namun, Abyadi mengingatkan, teknis penerapan aturan itu berpedoman pada Permendiknas No 58/2008 tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan. ”Peraturan itu menyebutkan bahwa penyelenggaraan program sarjana tidak boleh mengganggu tugas dan tanggung jawab di sekolah,” kata Abyadi.
Abyadi menegaskan, penghentian 1.695 guru jelas-jelas menganggu proses belajar-mengajar di sekolah. Apalagi, hal itu dilakukan di tengah kondisi Simalungun yang kekurangan lebih dari 2.000 guru. Penghentian guru tersebut pada akhirnya mengorbankan anak didik.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Kabupaten Simalungun Albert Pancasila Sipayung mengatakan, mereka terus berjuang agar Bupati Simalungun meninjau ulang keputusannya itu. Mereka pun melaporkan secara resmi hal tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun.
Bupati malah menghentikan guru dari jabatan fungsionalnya. Ini membuat para guru tidak boleh mengajar karena telah dicopot dari jabatan fingsional guru. Padahal, Simalungun sendiri kekurangan guru.
Albert mengatakan, para guru saat ini sangat resah karena tidak jelas nasibnya. Mereka dihentikan dari jabatan fungsional guru, tetapi tidak diberi penugasan baru. Meskipun telah diberhentikan sejak 26 Juni lalu, sebagian besar guru masih tetap mengajar karena sekolah memang kekurangan guru.
Jika Bupati tidak meninjau ulang keputusan tersebut, kata Albert, PGRI Simalungun berencana menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negera. Secara administasi, putusan itu dinilai cacat. Guru hanya diberi salinan keputusan. Para guru diberhentikan dari jabatan fungsional, tetapi tidak disebutkan penugasan baru.
”Ada juga beberapa guru yang sudah pensiun dan meninggal, tetapi ikut juga dalam penghentian jabatan fungsional,” kata Albert.
Ketua Fraksi Nasdem DPRD Simalungun Bernhard Damanik mengatakan, semua fraksi di DPRD Simalungun tetap satu suara meminta Bupati Simalungun meninjau ulang keputusan itu. Mereka pun akan mengajukan hak interpelasi kepada Bupati untuk menanyakan keputusan penghentian guru.
”Sampai sekarang, kami belum memahami apa alasan Bupati menghentikan guru tersebut. Padahal, dampak putusan itu sangat besar. Para guru tidak bisa menerima tunjangan sertifikasi. Sekolah juga kekurangan tenaga pendidik,” katanya.
Sekretaris Dinas Pendidikan Simalungun Parsaulian Sinaga sebelumnya mengakui bahwa mereka kekurangan guru. Ia mengatakan jumlah guru pegawai negeri sipil untuk SD dan SMP di Simalungun, termasuk yang dihentikan, hanya sekitar 6.000 orang. Kekurangan guru ditutupi dari tenaga honorer sebanyak 4.000 orang.
Parsaulian mengatakan, mereka tetap memberlakukan keputusan tersebut karena sudah diatur dalam UU No 14/2005, Peraturan Pemerintah No 74/2009, dan Permendiknas No 16/2007. Sebanyak 400 guru sudah menyerahkan ijazah strata 1 yang sebelumnya sudah didapat, tetapi belum dicantumkan.