Penyelesaian Defisit Anggaran Belum Sentuh Aspek Fundamental
Penyelesaian defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan selama ini dianggap belum menyentuh aspek fundamental. Selain sumber pendanaan, sejumlah kalangan menganggap pengendalian hak layanan kesehatan kepada peserta perlu ditinjau.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan selama ini dianggap belum menyentuh aspek fundamental. Selain sumber pendanaan, sejumlah kalangan menganggap pengendalian hak layanan kesehatan kepada peserta perlu ditinjau.
Ketua Umum The Indonesian Health Economics Association (InaHEA) Hasbullah Thabrany menilai, penyelesaian kasus defisit BPJS hendaknya menyentuh masalah utama yang berakar pada sumber pendanaannya.
Penetapan iuran pemerintah dinilai tidak didasarkan pada hasil kajian yang telah dilakukan. Misalnya, pada 2016 iuran untuk kelas III diusulkan Rp 30.000, tetapi yang disahkan hanya Rp 25.500. Begitu pula dengan penerima bantuan iuran (PBI) yang diusulkan Rp 27.500, tetapi hanya ditetapkan Rp 19.225.
”Saat pemerintah menetapkan itu, BPJS Kesehatan tidak disubsidi. Beda dengan penetapan harga BBM,” katanya dalam konferensi jarak jauh pembahasan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Thabrany mencoba membandingkan saat pemerintah menetapkan harga di bawah usulan dari Pertamina, yang mana pemerintah memberikan subsidi untuk selisih tersebut. Dalam hal ini, Thabrany menilai pemerintah melakukan kebijakan yang diskriminatif.
Ia menambahkan, prinsip iuran, yakni adanya subsidi silang antara peserta berpenghasilan tinggi dan peserta berpenghasilan rendah. Namun, hal itu urung terjadi lantaran ada penetapan batas upah maksimal Rp 8 juta. Adapun selama ini rata-rata iuran perkapita setiap bulan yang dihasilkan sebesar Rp 43.000.
”Padahal, premi untuk pejabat eselon I saja bisa Rp 2 juta per bulan. Ada gap yang jauh. Dari sini terlihat betul, revenue menjadi masalah utama,” ujarnya.
Selain itu, Thabrany menilai, pemerintah belum menganggap masalah kesehatan sebagai hal yang serius. Berdasarkan data Bank Dunia 2019, anggaran belanja kesehatan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Filipina, Thailand, dan Australia.
Ia mengibaratkan, jika Indonesia punya pendapatan Rp 1 juta per bulan, anggaran untuk kesehatan hanya Rp 14.000. ”Berbeda dengan Australia yang anggaran belanja kesehatannya diibaratkan 80.000 dari pendapatan yang sama,” ujarnya.
Thabrany menilai, sejauh ini fokus pembahasan masih melebar pada hal-hal di luar masalah fundamental tersebut. Misalnya, BPJS Kesehatan sering mengungkap rasio klaim per segmen sehingga pembahasan cenderung mengerucut pada lingkup masalah yang lebih kecil.
Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kesehatan Usman Sumantri menganggap perlu ada pengendalian atau pembatasan hak dan manfaat layanan pasien. Dalam kasus penyakit tertentu perlu diberlakukan kebijakan cost sharing atau urun biaya.
”Misalnya, penyakit katarak dengan level visus di atas delapan bisa dijamin BPJS yang di bawahnya tidak atau pakai konsep urun biaya,” katanya.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Angger P Yuwono, menambahkan, sistem verifikasi klaim kesehatan juga menjadi salah satu masalah yang perlu diperbaiki. Dengan begitu, potensi kemunculan klaim yang tidak diperlukan bisa ditekan. ”Kalau verifikatornya tidak tidak melaksanakan tugas optimal, klaim apa saja akan dibayar terus-menerus,” katanya.