Perjumpaan elite politik seyogianya menyejukkan karena merujukkan kembali masyarakat yang terbelah. Namun, perjumpaan belakangan terasa tidak demikian.
Setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, 13 Juli 2019, perjumpaan elite politik intens terjadi. Pada Senin, 22 Juli 2019, empat ketua umum partai politik— minus PDI-P—bertemu di Kantor Pusat DPP Partai Nasdem. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menjadi tuan rumah. Pada Rabu, 24 Juli 2019, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Pada saat bersamaan, Surya Paloh mengundang Gubernur Jakarta Anies Baswedan ke kantornya dan berbicara soal Pemilu 2024.
Setelah Mahkamah Konstitusi memutus sengketa pemilu, Prabowo-Sandiaga Uno membubarkan koalisi. Partai politik dipersilakan mencari jalannya sendiri. Partai Keadilan Sejahtera sudah tegas memilih oposisi. Gerindra, Demokrat, dan PAN belum jelas sikap politiknya. Menyusul bubarnya Koalisi Prabowo-Sandi, Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin pun segera akan dibubarkan.
Tren itu memungkinkan terjadinya pengelompokan politik baru. Dari sudut pandang positivisme, perjumpaan elite politik itu baik-baik saja. Setelah melalui kampanye pemilu 17 April 2019 yang brutal dan mengakibatkan pembelahan di masyarakat, perjumpaan elite politik seperti menyampaikan pesan bahwa pertarungan telah usai. Mari kita bersatu lagi. Namun, politik seyogianya berpegang pada nilai, berpegang pada prinsip dasar, bukan hanya sekadar bagaimana bermanuver untuk mendapatkan kekuasaan.
Kesan itulah yang kita tangkap. Perjumpaan elite hanya sebagai upaya meningkatkan posisi tawar untuk mendapatkan kekuasaan atau untuk mempertahankan kekuasaan meski dibingkai dengan frase musyawarah mufakat. Ketika bandul politik akan diseimbangkan, muncul manuver politik lain untuk mengimbanginya. Potret perkembangan politik mutakhir kian memperkukuh pandangan politik purba bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, selain kepentingan. Kepentingan akan kekuasaan diburu untuk bisa menguasai sumber daya ekonomi atau sumber daya politik.
Perilaku politik Indonesia belumlah beranjak dari siasat dan manuver untuk meraih kekuasaan. Harold Laswell memaknai politik sebagai siapa mendapat apa dan bagaimana mendapatkan. Prinsip, nilai, dan etika bukan variabel yang dipertimbangkan untuk meraih kekuasaan.
Perjumpaan elite politik itu diperlukan. Namun, perlu ada kesepakatan mendasar yang dibangun sebelum dan sesudah perjumpaan. Misalnya, bagaimana kesepakatan dibangun untuk kian mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi negara, bagaimana sistem presidensial kian diperkokoh, bagaimana kekuasaan digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan bagaimana pula korupsi yang begitu masif harus diberantas. Prinsip dasar bernegara dan berpemerintahan itulah yang harus disepakati, bukan hanya sekadar bagi-bagi kekuasaan.