Meskipun secara umum sudah dinyatakan padam sejak Rabu (24/7/2019) siang, BPBD Kota Batu, Jawa Timur, bersama Perhutani masih melakukan penyisiran bara sisa-sisa kebakaran lahan dan hutan di lereng Gunung Panderman.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
BATU, KOMPAS — Meskipun secara umum sudah dinyatakan padam sejak Rabu (24/7/2019) siang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Batu, Jawa Timur, bersama Perhutani masih melakukan penyisiran bara sisa-sisa kebakaran lahan dan hutan di lereng Gunung Panderman. Luas hutan lindung yang terbakar dalam peristiwa kali ini mencapai 70 hektar.
Berdasarkan laporan dari personel di lapangan yang diterima Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu, hingga pukul 14.45, Jumat (26/7/2019), tim menemukan satu titik api dan satu titik bara. Kedua titik itu pun langsung dipadamkan dengan cara manual.
Titik api ditemukan di daerah Watugandul pada ketinggian 1.964 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara titik bara ditemukan pada ketinggian 2.011 mdpl.
Temuan bara pada penyisiran hari ini tidak sebanyak sehari sebelumnya yang mencapai lima titik api yang tersebar di beberapa lokasi. ”Baik titik api maupun bara yang kami temukan langsung dipadamkan dengan cara ditimbun dengan tanah,” kata Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Kota Batu Achmad C Rochim.
Menurut Rochim, penyisiran dilakukan di semua area yang terbakar. Kebakaran hutan di Panderman diketahui pertama kali pada Minggu (21/7/2019) malam dan baru dipadamkan mulai Senin pagi setelah dilakukan evakuasi terhadap pendaki. Lahan yang terbakar merupakan hutan lindung milik Perhutani di Petak 227 dan 213 dengan jenis vegetasi dominan berupa cemara angin, galitus, dan semak.
Untuk pemadaman bara, setiap hari ada sekitar 30 personel dari BPBD dan Perhutani yang dikerahkan untuk menyisir dan memadamkan api. Jumlah ini jauh berkurang dibandingkan pada hari pertama pemadaman yang mencapai 150 personel. Terkadang, pemadaman bara dibantu sukarelawan dari Lembaga Masyarakat Desa Hutan yang ada di sekitar Panderman.
Bara yang ada bisa menyala kembali sewaktu-waktu akibat tertiup angin.
Menurut Rochim, selain medan, kondisi cuaca yang panas dan angin menjadi kendala pemadaman. Bara yang ada bisa menyala kembali sewaktu-waktu akibat tertiup angin. Sementara itu, sejak kebakaran sampai sekarang, hujan belum turun.
Disinggung soal penyebab kebakaran, Rochim mengatakan diduga faktor alam. ”Pada Selasa malam ada seorang warga yang ditangkap, tetapi dia membakar di titik lain, bukan di Panderman. Dia membakar untuk membuka lahan, tepatnya di Petak 219 di daerah Tlekung,” katanya.
Pihak Perhutani belum bisa dikonfirmasi terkait kerugian akibat kebakaran lahan dan hutan di Panderman tersebut.
Sementara itu, pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru bersiap diri mengantisipasi kebakaran lahan di musim kemarau. Humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS) Syarif Hidayat mengatakan, pihaknya melakukan beberapa langkah, antara lain patroli personel di daerah rawan kebakaran lahan dan hutan.
Dalam waktu dekat, kami akan melakukan apel siaga pengendalian kebakaran lahan dan hutan.
BBTNBTS juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar tentang bahaya kebakaran lahan dan hutan sekaligus menggalang dukungan untuk antisipasi kebakaran. Sosialisasi juga dilakukan kepada para pendaki Gunung Semeru dan wisatawan untuk tidak melakukan aktivitas yang bisa berbuntut pada kebakaran lahan.
”Dalam waktu dekat, kami akan melakukan apel siaga pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Ini sebagai wujud kesiapsiagaan potensi pemadam kebakaran dalam mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan,” kata Syarif.
Kebakaran lahan pernah terjadi di kawasan TNBTS saat kemarau. Pada September 2018, misalnya, sekitar 70 hektar padang savana di Bukit Teletubies hangus terbakar. Begitu pula pada Oktober 2015, kebakaran melanda 200 hektar lahan di Blok Waturejeng, Gunung Semeru.