Pidato perdana PM Inggris Boris Johnson langsung bernada mengancam. Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan jika Brussels tak mau melakukan negosiasi ulang.
LONDON, KAMIS—Perdana Menteri Inggris Boris Johnson kembali mengingatkan bahwa Inggris akan keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober 2019 apa pun yang terjadi. Jika Uni Eropa menolak melakukan negosiasi, Inggris akan melakukan Brexit tanpa kesepakatan.
Dalam pidato pertama Johnson sebagai PM di depan tempat tinggalnya di Downing Street 10, Rabu (24/7/2019), Johnson menyinggung soal backstop Irlandia Utara yang menjadi duri dalam kesepakatan Brexit yang ditandatangani Theresa May dan Uni Eropa, November 2018. Menurut Johnson, Inggris dan UE bisa mencapai kesepakatan tanpa memerlukan backstop.
Backstop adalah komitmen Inggris dan UE bahwa apa pun yang terjadi dalam proses Brexit tidak akan ada penjagaan militer di perbatasan Irlandia Utara (Inggris) dan Republik Irlandia (UE). Selain itu, aliran barang dari kedua wilayah juga tetap akan berlangsung bebas. ”Lupakan backstop. Kesepakatan baru bisa dicapai tanpa perlu penjagaan di perbatasan. Backstop itu tidak demokratis,” kata Johnson.
Johnson mengajak publik Inggris untuk mendukungnya dan bersiap menghadapi 31 Oktober. Ia berjanji akan meningkatkan persiapan untuk Brexit tanpa kesepakatan. ”Penting diingat bahwa kita bersiap untuk menghadapi kemungkinan terjauh, yaitu Brussels menolak melakukan negosiasi lebih lanjut dan kita akan dipaksa untuk mengambil opsi tanpa kesepakatan,” ujarnya.
Johnson meyakini ancaman ”Brexit tanpa kesepakatan” akan membuat UE, khususnya Perancis dan Jerman, bersedia merevisi kesepakatan yang gagal disetujui Majelis Rendah Inggris sampai tiga kali.
Menanggapi pidato Johnson, PM Irlandia Leo Varadkar mengatakan, kesepakatan Brexit tidak dapat dinegosiasikan lagi. ”Mendengarkan pidatonya, saya merasa dia tidak hanya bicara soal menghapus backstop, tetapi juga bicara tentang keseluruhan kesepakatan. Itu tak bakal terjadi,” kata Varadkar.
Wajah lama di kabinet
Begitu dilantik, Johnson langsung membentuk kabinet dan melakukan rapat perdana, Kamis (25/7). Ada sejumlah wajah lama yang bergabung dalam kabinet Theresa May, tetapi kemudian mundur atau diberhentikan.
Salah satunya adalah Dominic Raab, mantan juru runding Brexit. Ia mundur karena tak sepakat dengan arah negosiasi May. Raab kini menjadi menteri luar negeri yang ditinggalkan Jeremy Hunt.
Sajid Javid, yang sebelumnya menjadi menteri dalam negeri di era May, kini menjabat sebagai menteri keuangan. Ia menjadi warga etnis minoritas pertama yang menduduki jabatan menkeu. Posisi Javid digantikan oleh Priti Patel yang pernah menjadi menteri pembangunan internasional di era May, tetapi diberhentikan karena melakukan pertemuan rahasia dengan pejabat Israel.
Wajah lama lainnya adalah Ben Wallace yang pernah menjadi menteri keamanan dan kini menjadi menteri pertahanan; juga Michael Gove, mitra kampanye Johnson dalam referendum 2016. Ketua Majelis Rendah dipegang oleh Jacob Rees-Mogg, anggota parlemen yang menginisiasi mosi tidak percaya pada Theresa May.
Sebagian besar menteri kabinet May mundur karena tidak sepakat dengan arah Brexit yang diupayakan Johnson. Para ahli ekonomi Inggris menegaskan, Brexit tanpa kesepakatan akan berdampak buruk pada perekonomian Inggris dan akan memperlambat pertumbuhan global. Namun, Johnson mengatakan, apa yang dipublikasikan pada masyarakat itu hanyalah untuk ”menakut-nakuti” agar Inggris tidak bisa lepas dari kontrol Brussels.
Johnson dikenal sebagai orator ulung. Akan tetapi, rekam jejaknya menunjukkan pernyataannya kerap tidak didukung data yang valid. Ia juga jarang menjelaskan dengan rinci rencananya, bahkan ucapannya yang kerap kontradiktif.