Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mengandung banyak aturan yang bisa menjerat kasus-kasus kekerasan seksual yang belum tercantum di payung hukum yang saat ini tersedia.
Oleh
DANANG DAVID ARITONANG dan INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil menilai materi di dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS sudah sesuai harapan. Oleh karena itu, mereka mendesak rancangan aturan itu, segera disahkan. Namun, DPR tampaknya masih butuh waktu untuk mengesahkannya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Siti Mazuma, di Jakarta, Jumat (25/7/2019), menjelaskan, pola kekerasan seksual semakin berkembang.
Selain kekerasan berbentuk fisik, kini bermunculan kekerasan seksual verbal.
Menurutnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kini dibahas di DPR bersama pemerintah, sudah mencakup aturan yang bisa menjerat semua bentuk kekerasan itu.
Dengan demikian, DPR dan pemerintah tidak perlu berdebat berlarut-larut, dan segera menyelesaikan RUU tersebut.
"Kami berharap September ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan. Banyak kasus kekerasan seksual yang tadinya belum punya payung hukum," katanya dalam diskusi bertajuk "LBH APIK Mendukung Pengesahan RUU PKS."
Dalam diskusi itu, hadir pula pengacara korban pelecehan seksual Baiq Nuril, Joko Jumadi. Menurut Joko, ketidakadilan hukum tergambar jelas dalam kasus yang menimpa kliennya.
HM, orang yang diduga melecehkan Baiq pada 2012, tidak pernah diproses hukum oleh polisi. Hingga kini, aparat penegak hukum belum meningkatkan laporan Nuril ke penyidikan.
HM, kepala sekolah yang merupakan atasan Nuril, melecehkan Nuril melalui sambungan telepon. Nuril merekam percakapan itu. Tanpa keinginannya, rekaman itu tersebar. Kemudian, HM melaporkan Nuril dengan dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Mahkamah Agung menyatakan Nuril terbukti bersalah dan menjatuhkan vonis 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta. Kemudian, Nuril mengajukan amnesti dan disetujui secara aklamasi oleh DPR.
Menurut Joko, selain perlu membincangkan kembali UU ITE yang menelan banyak korban, pengesahan RUU PKS mendesak dilakukan. Agar, Nuril dan korban pelecehan seksual lainnya mendapat keadilan.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Dasopang mengatakan, panitia kerja DPR telah menargetkan RUU bisa disahkan pada September 2019. Saat ini, DPR sedang reses, sehingga pembahasan dilanjutkan pada masa sidang berikutnya yang dimulai 16 Agustus 2019.
"Hanya persoalannya, RUU PKS perlu ada sinkronisasi dengan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang dibahas di Komisi III DPR. Ada tiga pasal pidana yang berkaitan dengan RUU PKS," ujarnya.
Tiga pasal pidana tersebut yaitu pasal perzinahan, pemerkosaan, dan pencabulan.
Ia mengatakan, RUU PKS tidak bisa disahkan jika RUU KUHP tidak selesai pembahasannya.
"Kami tidak tahu kapan RUU KUHP ini bisa selesai. Karena akan percuma, tidak akan ada hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual jika tiga pasal tersebut tidak terakomodasi dalam RKUHP," ujarnya.