Sabtu pagi, 27 Juli 1996, saya bergegas ke Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro No 58, Jakarta, setelah mendengar kabar ada kerusuhan. Kondisi kantor berantakan. Mimbar bebas yang selama ini digelar sebagai perlawanan terhadap Orde Baru rusak. Tentara dan polisi berjaga. Pada Sabtu subuh terjadi pengambilalihan kantor PDI oleh massa yang disebut sebagai pendukung PDI Soerjadi. Mereka mengambil alih Kantor PDI yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.
Massa marah. Terjadilah perlawanan. Bentrokan dengan aparat terjadi. Kerusuhan pecah di sejumlah titik. Bus dibakar. Gedung dibakar. Tidak ada media sosial waktu itu. Menurut catatan harian ini, 22 bangunan rusak dan 5 bus kota dibakar. Sebanyak 171 orang ditangkap. Saat itu informasi terbatas. Hari Minggu, 28 Juli 1996, bertepatan dengan hari raya keagamaan. Koran tidak terbit.
Baru pada Senin, 29 Juli 1996, media mulai memberitakan. Harian Kompas, 29 Juli 1996, menulis dengan judul besar, ”Pangab: Jangan Terpancing Hasutan Oknum yang Tak Bertanggung Jawab.” Dalam berita itu, Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid mengatakan, dari awal terlihat setiap mimbar bebas ditunggangi kelompok luar. ”Suasananya analog dengan keadaan sebelum peristiwa G30S/PKI,” kata Syarwan Hamid.
Peristiwa 27 Juli 1996 itu mengawali kekerasan dan sekaligus perlawanan politik terhadap Orde Baru. Kekerasan politik beberapa kali terjadi. Aktivis diculik. Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) diburu. Ada aktivis yang dikembalikan penculik, ada pula yang hilang. Aktivis hilang dan tidak pernah kembali dikenal sebagai continuing violence dalam terminologi hak asasi manusia.
Orde Baru berakhir pada 21 Mei 1998. Presiden Soeharto menyatakan mundur. Kini, peristiwa 27 Juli itu telah berlalu 23 tahun. Megawati Soekarnoputri tetap menjabat sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Megawati menjadi presiden menggantikan KH Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001-20 Oktober 2004. Megawati menjadi ketua umum partai politik paling senior pascareformasi. Ketegasan melawan Orde Baru telah ditunjukkannya. Ia pun sangat konsisten dengan sikap politiknya.
Peristiwa 27 Juli 1996 adalah salah satu dari sejumlah sejarah hitam. Saya teringat pada sebuah tulisan Karlina Supelli yang mengutip kalimat Alexis de Tocqueville (1805-1859) di harian Kompas, 26 Juli 2003. ”Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut.”
Kalimat Tocqueville itu tertera dalam buku Democracy in America. Karlina menulis, ”Tak satu pun lenyap karena menjadi masa lalu; kalender hanyalah pagar yang kita paksakan pada waktu; ingatan selalu menyelamatkan masa lalu yang digelapkan; adalah tugas saksi untuk menghidupkan masa lalu yang belum selesai, untuk melahirkan masa depan.”
Masa lalu yang tak selesai bisa melahirkan masa depan yang kelam pula. Sejauh mana bangsa ini belajar dari masa lalu akan menentukan bagaimana sebuah bangsa mendesain masa depan. Afrika Selatan sukses melewati masa kelam rezim apartheid karena punya tokoh karismatik Nelson Mandela dan Uskup Desmond Tutu. Kebenaran diungkap. Keadilan korban diberikan. Di Indonesia, kekerasan politik beberapa kali terjadi. Kerusuhan 13-14 Mei 1998, misalnya, dan terakhir kekerasan 20-21 Mei 2019.
Memori 27 Juli 1996 bisa dianggap sebagai upaya merawat ingatan untuk melawan apa yang disebut the crime of silence (kejahatan diam) oleh Bertrand Russell. Ingatan individual berupaya dimatikan seiring dengan waktu ataupun tawaran politik. Namun, memori sosial tetap hidup dan terus dihidupkan.
Pasca-Pemilu 17 April 2019 yang brutal dan hampir membelah masyarakat, isu rekonsiliasi digemakan. Perjumpaan elite terjadi. Perjumpaan itu dipuji. Yang dulu bersaing dan berkontestasi, yang dulu saling mengecam, kini saling memuji dan berangkulan. Memang dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi, selain kepentingan itu sendiri. Namun, politik membutuhkan moralitas. Politik membutuhkan nilai, bukan sekadar perburuan kekuasaan.
Transaksi politik, bagi-bagi kursi meski dikemas dalam bahasa indah rekonsiliasi, atau musyawarah, terasa kehilangan moralitasnya. Kontestasi dalam pemilu adalah biasa. Rekonsiliasi seharusnya diberi makna bagaimana bangsa ini menyelesaikan problem masa lalunya.
Mengutip Desmond Tutu, rekonsiliasi membutuhkan pengungkapan kebenaran. Rekonsiliasi palsu akan menghasilkan pemulihan yang palsu. Rekonsiliasi kontemporer yang dikonstruksikan sebagai bagi-bagi kursi diyakini hanya akan melahirkan kabinet yang semu pula.
Rekonsiliasi dengan masa lalu harus diupayakan meskipun itu sulit. Ada kendala politik (political constraints) di sana, di mana pelaku masih berada dalam lingkar kekuasaan; ada kendala masyarakat (social constraints), di mana masyarakat belum siap; dan ada pula kendala keuangan (financial constraints), sementara pemerintahan Presiden Jokowi fokus pada pembangunan infrastruktur.
Masa lalu akan selalu relevan. Siapa yang bisa belajar dari sejarah, dia akan bisa mendesain masa depan, dan tidak mengulangi sejarah yang sama.