Bergerak Bersama Melawan Kusta
Meski dikenal sejak ratusan tahun lalu, kasus kusta masih ada. Penyakit ini tidak mudah menular dan bisa diobati. Karena itu, penderita tidak perlu dikucilkan.
Ratusan penderita kusta menjalani rangkaian pemeriksaan medis di Rumah Sakit Khusus atau RSK Alverno, Singkawang, Kalimantan Barat, Sabtu (20/7/2019). Sejumlah dokter spesialis mata, dokter spesialis kulit dan kelamin, serta dokter spesialis rehabilitasi medik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo yang tergabung dalam tim Katamataku (Identifikasi Tanda-tanda Mata, Ekstremitas, dan Kulit pada Kusta) memeriksa mereka dalam bakti sosial.
”Kami memeriksa kadar air pada mata penderita kusta. Mata penderita kusta sering kering. Sensibilitas kornea juga diperiksa,” ujar Ketua Katamataku dokter spesialis mata Yunia Irawati.
Dokter lain memeriksa kulit para penderita kusta. Di ruang rehabilitasi medik, sejumlah penderita kusta diperiksa. ”Kami ingin melihat perubahan pola jalan dan merekam aktivitas saraf serta otot kaki untuk menentukan jenis rehabilitasinya,” ujar dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi Melinda Harini. Di ruang lain, para penderita kusta mendapat penyuluhan kesehatan. Total penderita kusta yang ditangani dalam bakti sosial itu ada 107 orang.
Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernapasan atas, dan mata. Kusta menular lewat percikan cairan dari hidung dan mulut dalam kontak dekat serta waktu lama dengan penderita yang tak diobati.
Andi Musa (35), pasien asal Sulawesi Tengah, baru dirawat 10 hari di RS itu. Selama tujuh tahun ia bekerja di perusahaan sawit di Kabupaten Sanggau. Ia ke RSK Alverno karena di puskesmas di wilayah tempat ia bekerja tidak ada obat.
Tak hanya penderita, Dahari (46), mantan penyandang kusta asal Singkawang, sampai kini menetap di RSK Alverno. Meski dinyatakan sembuh tahun 2017, kusta menyisakan cacat fisik. Jika pulang ke rumah, ia dijauhi tetangga.
Hilangkan stigma
Yunia Irawati mengatakan, selain bentuk pengabdian masyarakat, bakti sosial diharapkan menumbuhkan kepedulian dari semua pihak. Penanganan kusta bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan kerja bersama semua pihak.
Perlu ada kampanye agar masyarakat memahami bahwa kusta tidak mudah menular. Dengan demikian, tidak ada lagi stigma negatif dan diskriminasi terhadap penderita.
Tim Katamataku juga melatih dokter umum dan wasor (paramedis yang dilatih untuk memahami kusta) agar mampu mengetahui gejala awal. Dengan demikian, penderita kusta bisa segera ditangani agar tidak sampai cacat. Data Global Leprosy Update WHO 2017, jumlah kasus baru kusta di Indonesia tertinggi ketiga di dunia (15.910 kasus) setelah India (126.164 kasus) dan Brasil (26.875 kasus).
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan mencatat, pada 2017, ada 10 provinsi belum mencapai eliminasi, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Artinya banyak di wilayah Indonesia timur.
Pengelola Program Kusta dan Frambusia Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar, Hendri, mengatakan, secara nasional, kasus kusta ditekan di bawah 1 per 10.000 penduduk. Posisi Kalbar sejauh ini jauh di bawah, yakni 0,04 per 10.000 penduduk.
Pada 2018, wilayah dengan penderita kusta terbanyak di Kalbar adalah Kabupaten Kayong Utara (22 kasus), Mempawah (18 kasus), Ketapang (8 kasus), Kubu Raya (8 kasus), Sanggau (6 kasus), dan Pontianak (6 kasus). Kemungkinan karena masih ada sumber penularan yang belum diobati.
Di tengah masyarakat, stigma negatif terhadap penderita kusta masih tinggi dan berujung pada pengucilan. Dengan kondisi seperti itu, kemungkinan ada penderita luput dari pengobatan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Windra Woworuntu mengatakan, jika masih ada penderita anak, berarti masih ada sumber penularan. Karena itu, perlu cepat diatasi.
”Fokus perhatian pemerintah adalah deteksi dini. Cari sumber penularannya dan cepat diobati sehingga tidak ada lagi stigma negatif dari masyarakat terhadap penderita kusta,” ujar Windra.
Bekas tempat pengasingan
Saat para suster Misionaris Kongregasi Suster Fransiskus dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Suci Allah (SFIC) datang tahun 1906 di Gunung Sari, Singkawang Barat, telah ada sekelompok orang yang diasingkan karena kusta. Kawasan RSK Alverno dahulu berupa hutan belantara.
Penderita kusta dahulu tinggal di pondok-pondok kayu beratap daun dan tersebar di dalam hutan. Misionaris Kapusin yang datang sebelumnya secara berkala mengunjungi dan melayani mereka.
Di sana dibangun rumah kecil penampungan yang lebih layak. Tempat para penderita kusta itu seiring waktu kian membaik. Sejak 1917, Suster Cajetana van Tiel memulai pelayanan. Setiap hari ia pergi pulang dari biara berjarak sekitar 2 kilometer dari hutan. Seiring waktu, kawasan itu menjadi RSK Alverno.
Tahun 1945-1990, RSK Alverno berstatus rumah sakit pemerintah. Meski milik pemerintah, biaya operasional menjadi tanggung jawab suster pengelola. Tahun 1990, RSK Alverno dikembalikan ke Keuskupan. Kini, RSK Alverno berstatus rumah sakit swasta yang dikelola Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentius.
Direktur RSK Alverno Singkawang Barita P Ompusunggu mengatakan, bakti sosial yang dilaksanakan di RSK Alverno sangat membantu. Hal itu diharapkan bisa menginformasikan keberadaan RSK Alverno ke luar sehingga ada pihak yang bisa membantu.
”Saat ini, ada 32 mantan penderita kusta yang tinggal di sini. Sebagian besar mereka tidak punya keluarga lagi. Selain itu, ada tiga sampai empat penderita dirawat inap dan sekitar tiga orang dirawat jalan. Pasien ada yang berasal dari luar Kalbar, misalnya dari Jawa dan Kepulauan Riau,” tutur Barita. Mereka yang tinggal di RSK Alverno berlatar belakang berbagai suku dan agama. Saat ada yang meninggal, mereka dimakamkan sesuai keyakinan masing-masing.
Menurut Barita, ketersediaan obat kusta bagi orang dewasa mencukupi. Yang masih terkendala adalah obat kusta bagi penderita anak. Di RSK Alverno, pasien termuda usia enam tahun. Karena itu, bantuan masih sangat dibutuhkan RS swasta nirlaba itu. Selain itu, perlu peningkatan pemahaman masyarakat bahwa kusta tidak mudah menular. Dengan pengobatan sejak dini, kusta bisa disembuhkan dan tidak meninggalkan kecacatan. Dengan demikian, penderita tidak perlu lagi dikucilkan.