Facebook, Kuasa Sosial, dan Economy Of Attention
Judul: Anti-Social Media: How Facebook Disconnects US And Undermines Democracy
Penulis: Siva Vaidhyanathan
Penerbit: Oxford University Press
Cetakan: I, 2018
Tebal: 276 halaman
ISBN: 978-0-19-084116-4
Di dalam ruang keluarga, Zuckerberg menjanjikan bahwa pengguna dapat berinteraksi secara privat. Mulai dari berkabar, berbelanja, melakukan transaksi, dan sebagainya. Inilah yang disebut ”privat” oleh Zuckerberg, ketika segala sesuatu dapat dilakukan ”di dalam rumah secara tertutup”, bebas dari pandangan orang lain.
Paradoks antisosial
Adalah paradoks saat media sosial, yang logikanya adalah berbagi segala sesuatu, tetiba mempromosikan ”privasi” sebagai masa depannya. Apakah Facebook sebagai media sosial sudah berbalik arah?
Menurut Siva Vaidhyanathan, Facebook tidak pernah berbalik arah. Kita yang salah membaca Facebook sebagai media sosial. Kenyataannya, Facebook adalah media antisosial. Alih-alih menyatukan, Facebook telah memisahkan manusia.
Dengan cara itu, Facebook selama ini juga telah menggerogoti demokrasi. Siva Vaidhyanathan, profesor New York University (NYU), secara gamblang menelanjangi Facebook lewat bukunya, Anti-social Media: How Facebook Disconnect Us and Undermines Democracy (2018).
Ia secara kritis mengungkap sisi gelap media sosial, seperti kebahagiaan semu, pengawasan total yang tak menyisakan ruang privat, mesin sok baik yang mahal di ongkos, speaker dan mesin politik, hingga sumber disinformasi alias hoaks. Vaidhyanathan mengentak kita semua: bahwa adiksi Facebook itu terjadi karena struktur algoritma Facebook yang dibuat untuk menstimulasi perhatian kita. Maka, kita pun memasuki era baru, ”the economy of attention” (hlm 10).
Facebook mengenali hasrat terdalam manusia, yaitu ingin diperhatikan dan memperhatikan (orang lain). Facebook memberikan panggung bagi kita dan meminjamkan speaker guna mengamplifikasi berbagai momen melalui berbagai engagement: komentar, klik like, menonton, atau share. Ketika momennya usai, Facebook mengingatkan kembali melalui berbagai fitur ”years ago” (beberapa tahun silam).
Facebook juga menyediakan template untuk mengenang momen terbaik dalam rangkaian foto lengkap dengan ilustrasi musiknya: moving slides. Sudah disediakan template, masih malas mengisinya? Tanpa diminta, Facebook membuatkannya dengan alasan yang dibuat-buat: dalam rangka ”hari persahabatan sedunia” atau sekadar ”harinya aku dan kamu”.
Salah teman atau tidak suka? Klik saja pilihan lain selain jempol like. Ada cinta, sedih, takjub, sampai marah. Mesin algoritma akan bekerja dan memunculkan kembali konten yang sudah terkubur, dengan cara mendandani dan memolesnya menjadi sesuatu yang ”baru”.
Apa pun emosinya tak penting bagi Facebook. Yang penting perhatian kita yang tersedot pada konten tersebut. ”Perhatian” menjadi pintu masuk bagi Facebook menambang profit. Perhatian menjadi komoditas. Inilah hakikat ”the economy of attention”.
Paradoks demokrasi
Vaidhyanathan menjabarkan ekosistem Facebook sebagai media sosial, yang meletakkan kuasa pada hubungan sosial. Koneksi (connectivity) adalah mata uangnya. Sharing atau berbagi adalah modus transaksinya. Zuckerberg mengontrol pasar ini dan mengeksploitasinya habis-habisan.
Ia tak memberikan ruang bagi privasi dan trust. Buat apa pusing-pusing soal trust? Media sosial memberikan garansi untuk trust. Zuckerberg membius kita bahwa media sosial adalah solusi dari ancaman demokrasi.
Zuckerberg selalu membualkan pernyataan bahwa keberadaan Facebook dimaksudkan untuk menghadirkan hal-hal positif, membuat orang lebih bahagia, dan meningkatkan peradaban. Facebook hadir untuk progress dan inovasi.
Kenyataannya, Facebook menguatkan polarisasi, menciptakan gelembung filter (bubble filter) yang berujung pada echo chamber, hingga akhirnya memecah belah masyarakat. Vaidhyanathan menyebut beberapa contoh, di antaranya Arab Spring dan Myanmar.
Klaim Facebook ihwal kemampuannya memberikan perspektif melalui beragam informasi sehingga membuat penggunanya lebih cerdas dalam mengambil keputusan jelas berlebihan. Tragedi Brexit hingga terpilihnya Trump sebagai presiden AS adalah contoh nyata keputusan yang keliru itu (hlm 202 ).
Bagaimana dengan Facebook dan situasi di Indonesia? Data Hootsuite 2019 memperlihatkan, Facebook menempati posisi kedua sebagai media sosial paling populer di Tanah Air setelah Youtube. Sementara kajian Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menguak fakta bahwa sepanjang 2018 tak kurang dari 997 narasi hoaks diproduksi. Ini berarti dua hingga tiga hoaks diproduksi setiap hari. Saluran penyebaran hoaks, bisa ditebak, adalah media sosial favorit bangsa Indonesia: Facebook.
Paradoks kebenaran
Volume hoaks politik boleh jadi menurun setelah pemilihan presiden (pilpres), tetapi pasca-pilpres hoaks tetap diproduksi dan narasinya semakin menyeramkan karena sasarannya bukan lagi kontestasi antar-kandidat pilpres, melainkan langsung menohok sendi-sendi kebangsaan. Kita tidak lagi berhadapan dengan hoaks semata, tetapi juga menghadapi rentetannya, yaitu narasi-narasi antisosial yang berusaha memecah belah bangsa.
Teks provokatif yang menyertai tragedi anjing masuk masjid oleh pemiliknya yang mengalami gangguan jiwa memperlihatkan upaya membingkai kejadian ini sebagai penistaan antar-agama.
Ini disusul oleh berbagai hoaks bertema rasisme yang bertujuan membangkitkan sentimen anti China. Contohnya, video lagu pujaan terhadap Indonesia berbahasa China yang diklaim sebagai ”lagu kebangsaan Indonesia yang baru”. Propaganda seperti ini, betapa pun tak masuk akalnya, menyebar tanpa terkendali dan menambah gerbong haters yang mempertajam polarisasi di tengah publik.
Jika Anda ingin membangun mesin propaganda yang membius jutaan orang, tutur Vaidhyanathan, alihkan mereka dari isu-isu penting. Bakarlah kebencian dan fanatisme, geruslah social trust. Gerogotilah jurnalisme yang berkualitas, kompori orang supaya tak percaya pada sains dan biarkan mereka menggantungkan hidupnya pada pseudo-sains.
Libatkan publik dalam pola pengawasan dan kontrol yang masif, tetapi fokuskan hanya pada hal-hal kecil yang tidak signifikan sehingga bisa dicerna publik yang lumpuh nalar dan bisa disetir semaunya.
Shiva mengajak kita berani mengakui kenyataan bahwa media sosial sejatinya adalah media antisosial yang mempropagandakan kebenaran semu melalui kegaduhan massa. Mestinya kita juga harus berani meminta platform tersebut turut bertanggung jawab dan berpartisipasi menanggulangi kerusakan yang terjadi.
Dengan keberaniannya membuka dapur Facebook sekaligus mengekspos taktik menambang big data, Siva Vaidhyanathan layak diberi apresiasi. Sayang sekali, bagian disinformasi hanya mendapatkan porsi kecil dalam buku ini. Padahal, permasalahan terbesar saat ini ada di sana dan negara-negara seperti Indonesia sangat membutuhkan saran-saran praktis serta realistis untuk membersihkan media sosial dari racun virus hoaks dan ujaran-ujaran kebencian.
SANTI INDRA ASTUTI Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), aktivis di Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia), sedang menempuh pendidikan doktoral di School of Communication USM, Pulau Pinang, Malaysia