Hati Wied Sendjayani yang Menari
Sudah lama cermin di studio Maniratari Dance Company Solo tak memantulkan tubuh-tubuh yang bergerak. Beberapa kacanya bahkan tampak buram dan jarang dibersihkan. Mungkin pula ia rindu wajah anak-anak yang dulu saban hari berlatih di bawah bimbingan penari Wied Sendjayani (71). Hanya lantai studio yang tampaknya baru saja disemen secara sederhana.
Sudah 18 tahun Wied, demikian pendiri Maniratari Dance Company ini biasanya disapa, tak menari. Ia lebih asyik melukis di ruang tamu pada bangunan yang berdiri tepat di depan studio. Beberapa lukisannya tersimpan di sebuah gudang yang agak lembab. ”Iya saya punyanya ruangan ini,” kata Wied. Kami mengobrol suatu siang di kursi berbahan ban bekas di teras rumahnya di kawasan Tegalharjo, Ringin Semar, Kota Solo.
Pada akhir April 2019, untuk pertama kali Wied turun gelanggang lagi. Saat merayakan Hari Tari Dunia, 29 April 2019, di ISI Surakarta, sebagai maestro, Wied menari bersama dua muridnya, Siko Setyawan dan Imey. ”Saya sudah 18 tahun tidak bergerak, jadi lebih banyak diam saja. Biar Siko dan Imey yang berimprovisasi,” katanya seusai menari.
Di dekat kami mengobrol terpasang poster tari bertajuk ”Pesta Belum Usai”. Ada gambar Siko bersama Adisna Kumaralalita, cucu Wied. Kedua penari ini pada tahun 2009 baru berusia belasan tahun. ”Kalau enggak salah, mereka masih SMA,” kata Wied.
Wied tak pernah menduga, rupanya itulah karya ”terakhirnya” yang pernah dipentaskan di berbagai pusat kesenian, seperti Taman Budaya Surakarta, Gedung Kesenian Jakarta, dan Teater Utan Kayu Jakarta. ”Saya sudah tua, anak-anak juga sudah remaja dan sekolah di mana-mana, jadi Maniratari kemudian vakum,” kata Wied.
Setelah pulang dari pengembaraan di Eropa sebagai penari tahun 1984, Wied tak pernah bercita-cita membangun sanggar tari. Ia merasa belum pantas menjadi guru karena tidak memiliki sertifikat mengajar. Selain itu, selama di Eropa ia juga ”hanya” bekerja sebagai penari, bahkan bersekolah tari di Escuela Centro de Dansa, Madrid, Spanyol (1976-1977). Meski telah mengikuti kelas tari jazz modern, balet klasik, dan tari kontemporer dan dianggap lulus, Wied tetap menganggap dirinya belum layak mengajar. ”Karena saya tidak punya teknik tari,” kata Wied, Senin (22/7/2019).
Ketika kembali ke Solo, seorang sahabatnya tetap memaksa Wied agar menularkan ilmu menarinya yang ia peroleh selama di Eropa. Dengan berat hati, Wied menerima dua temannya sebagai murid. Selama empat bulan, muridnya tetap dua. Melihat kenyataan yang kurang menyenangkan itu, ia kemudian mencoba mencari anak-anak kurang mampu di sekitar rumahnya. Gayung pun bersambut, belasan anak secara sukarela mengorbankan jam bermainnya untuk berlatih menari bersama Wied.
Setelah pulang dari pengembaraan di Eropa sebagai penari tahun 1984, Wied tak pernah bercita-cita membangun sanggar tari. Ia merasa belum pantas menjadi guru karena tidak memiliki sertifikat mengajar.
Berlatih disiplin
Maniratari tak hanya mengajarkan tari. Wied bahkan lebih fokus mengajarkan etika dan disiplin kepada anak-anaknya (para murid). Ia mengutipkan ajaran-ajaran konfusian agar para anak didiknya memahami etika dalam kehidupan sehari-hari.
”Saya tidak mengajarkan tari, tetapi roso,” katanya. Roso yang ia maksudkan, semacam dorongan estetis yang muncul dari kedalaman hati. ”Karena kalau koreografi itu kan sekadar bentuk, tetapi kalau roso itu meluncur dari kedalaman jiwa kita,” ujar perempuan yang pernah menempuh pendidikan seni rupa di ASRI/SSRI Yogyakarta ini.
Secara keras Wied juga mengajarkan disiplin. Sebab tanpa disiplin berlatih, tarian apa pun takkan bisa dipentaskan dengan baik. Soal disiplin itu, Wied menerapkan kebiasaan yang ia dapatkan selama di Eropa. Ia, misalnya, melarang anak-anak yang terlambat datang masuk kelas. ”Kalau sedang latihan harus fokus, tak ada yang bercanda,” katanya.
Pada waktu-waktu tertentu, Wied mengajak para muridnya piknik bersama ke Tawangmangu. Semua ongkos piknik ia tanggung sendiri. ”Termasuk selama mereka belajar menari itu gratis, makan mereka pun saya siapkan,” katanya.
Sebenarnya, tambah Wied, semuanya ia lakukan untuk membentuk pribadi anak-anak yang kuat dan mandiri. Tujuan Maniratari, tak hanya melahirkan penari-penari andal, tetapi lebih-lebih adalah manusia-manusia kreatif dengan kepribadian yang tangguh.
Belakangan memang terbukti, beberapa muridnya menjadi penari-penari handal di berbagai sanggar tari di Jakarta. Siko, katanya, punya komunitas sendiri di Jakarta. Meritz, seorang murid Wied, sekarang bergabung dengan Namarina Ballet di Jakarta. Dua muridnya, Ayu dan Iksan (keduanya perempuan), memperoleh beasiswa untuk belajar menari di Belanda.
Perjalanan panjang
Sejak berpindah kota dari Solo ke Yogyakarta, Wied sebenarnya ingin belajar melukis. Namun, seorang teman kostnya mengajaknya ikut latihan di Bengkel Teater Rendra. Tahun 1966, ia bergabung dengan Rendra yang baru pulang dari Amerika Serikat untuk studi teater. Di Bengkel Teater Rendra Yogyakarta, Wied bertemu dengan Putu Wijaya, Amaq Baldjun, serta Entik Kamdani.
”Jadi di Bengkel Rendra saya belajar olah tubuh yang mengandalkan roso itu. Itu dulu disebut kontemporer,” kata Wied. Ia mengenang, pada pentas di dekat sebuah Alun-alun Yogyakarta tahun 1969, Bengkel Teater Rendra dilempari botol.
Bekal Wied melanglang Eropa sebenarnya tarian kontemporer alias bergerak dengan mengandalkan improvisasi. ”Ini yang justru menarik bagi orang Eropa,” ujarnya.
Sebelum mendapat tawaran bekerja sebagai penari ke Eropa, tahun 1970 ia harus pulang ke Solo karena ayahnya sakit keras. Ia memboyong suami dan dua anaknya pindah ke Solo. Lantaran kurang aktivitas di Solo, Wied kemudian menciptakan komik dengan nama Wied Sendja. Komik-komiknya diterbitkan oleh Penerbit Prasidha Solo. ”Tapi honornya kecil, antara Rp 7.500 dan Rp 15.000 per 64 halaman. Jadi enggak cukup untuk menghidupi keluarga,” katanya.
Itu pula sebabnya ia sering mengambil kerja sambilan. Suatu kali, misalnya, band rock Trenchem mengadakan konser di Semarang. Ia bersama Entik Kamdani menjadi pengisi tariannya. ”Itu wah media ributnya bukan main, tarian saya disebut sebagai tarian erotik, ha-ha-ha…,” kata Wied berderai-derai.
Jalan panjang itulah yang kemudian mengantarkan Wied bekerja sambil belajar tari ke Eropa. Selain Escuela Centro de Dansa, Wied juga mengambil kursus menari di Jerman dan Austria (1979-1984). Oleh sebab itulah ia memiliki banyak guru selama kariernya sebagai penari.
Pengalaman paling berkesan baginya, tak lain ketika dikunjungi penari balet Farida Oetoyo yang tahun 1997 memimpin Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Farida tak menyangka anak-anak kampung yang tak punya potongan penari bisa menarikan Ejeg-Eler karya Wied dengan sangat baik. Serombongan anak Maniratari kemudian menari di GKJ menjelang terjadinya reformasi di Tanah Air.
”Bu Farida menangis melihat kesungguhan anak-anak kampung itu menari...,” kenang Wied. Semua itu bukan soal bagaimana menghafal gerakan, tetapi bagaimana membangkitkan sensasi estetis dari kedalaman jiwa sehingga hati pun menari….
Wied Sendjayani
Lahir : Solo, 10 Juli 1948
Pendidikan :
- ASRI/SSRI Yogyakarta (1965-1966)
- Escuela Centro de Dansa Madrid (1976-1977)
- Dance Courses Jerman dan Austria (1979-1984)
Karya :
- Alkisah (1987)
- Alisah dengan Dunia Ajaibnya (1987)
- Ukara Ndonya (1988)
- RaKaTaKaTa (1989)
- Vignette (1990)
- Laut Bernafas (1990)
- Tempur (1991)
- Air Mata Bulan (1993)
- Nanyian Sendja (1997)
- Ejeg- Eler (1998)
- Selamat Pagi Bu Sendja (2001)
- Katakan Lagi Selamat Pagi (2003)
- Sapuan Langkah Panjang (2005)
- Who Really Am (2010)