Kebakaran dan Kesadaran Hidup Aman di Jakarta
Setiap tahun, ratusan kebakaran terjadi di DKI Jakarta. Meski fasilitas dan perlengkapan untuk memadamkan api cukup memadai, berbagai faktor sering kali membuat kebakaran telanjur meluas sebelum berhasil diatasi. Kesadaran masyarakat terhadap bencana kebakaran perlu ditingkatkan.
Beberapa bulan terakhir, kebakaran semakin sering terjadi di Ibu Kota. Dilihat dari frekuensinya, bencana kebakaran cenderung naik karena hampir setiap hari terjadi kebakaran di permukiman. Bahkan, pernah dalam satu hari terjadi lima kebakaran secara beruntun. Kebakaran itu terutama terjadi di permukiman padat penduduk.
Salah satu contoh dari kebakaran di Jakarta itu adalah yang terjadi pada Selasa, 2 Juli 2019. Pada pukul 04.40 terjadi di Jalan Jati Bunder, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kemudian, pukul 13.35, di Jalan Dahlia, Rumah Susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Pada pukul 14.16, kebakaran terjadi di Jalan Akses Rawa Malang Kulon, Cilincing, Jakarta Utara.
Setelah itu, pukul 15.30 dan 18.20, kebakaran kembali terjadi di kawasan padat penduduk di tempat yang berbeda. Pertama, di Jalan Duri Utara II, Duri Utara, Tambora, Jakarta Barat. Kedua, di Jalan Kebalen VII, Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Meski tidak menimbulkan korban jiwa, serangkaian kebakaran ini menghanguskan 32 rumah penduduk. Pemicu lima kejadian itu adalah hubungan pendek arus listrik. Seperti yang terjadi di Duri Utara, api berasal dari mesin pemanas air elektronik yang terpasang di sebuah rumah kontrakan.
Ancaman kebakaran
Lima kebakaran pada 2 Juli 2019 itu hanya sebagian dari kebakaran yang kerap terjadi di Ibu Kota. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Provinsi DKI Jakarta mencatat, selama tahun 2018, terdapat 692 kebakaran dengan korban jiwa 25 orang dan kerugian materi mencapai Rp 180 miliar.
Jika dilihat dari lokasinya, kebakaran pada 2018 paling sering terjadi di Jakarta Timur (25,7 persen). Selanjutnya di wilayah Jakarta Selatan (22,9 persen), Jakarta Barat (20,6 persen), Jakarta Utara (16,5 persen), Jakarta Pusat (13,6 persen), dan Kepulauan Seribu (0,07 persen).
Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, hubungan pendek arus listrik selalu disebut menjadi penyebab utama kebakaran di Ibu Kota. DPKP DKI Jakarta mencatat, sebanyak 58,3 persen kebakaran pada 2018 disebabkan oleh hubungan pendek arus listrik. Sementara pada 2017, sebanyak 41.4 persen kebakaran karena hal yang sama. Persentase kebakaran karena hubungan pendek arus listrik lebih banyak pada 2016, yaitu 72,0 persen. Adapun pada 2015 sebesar 50,4 persen.
Hubungan pendek arus listrik umumnya disebabkan oleh gangguan konduktor positif dan negatif di dalam kabel yang terhubung satu sama lain. Jika tidak disambung sempurna, kedua konduktor itu dapat memicu adanya hubungan pendek. Ketika itu terjadi, arus listrik yang sangat besar mengalir di kabel dan menghasilkan panas dalam waktu cepat. Jika energi panas terlalu besar, tidak menutup kemungkinan terjadi ledakan dan membakar benda di sekitarnya.
Terdapat sejumlah penyebab hubungan pendek arus listrik. Di antaranya kabel listrik yang tidak sesuai standar nasional Indonesia dan terbakarnya kabel pengisi baterai ponsel setelah tidak dicabut dalam waktu lama. Hal lain adalah pemakaian peralatan listrik rumah tangga yang melewati batas daya arus listrik dan maraknya pencurian listrik.
Sepanjang tahun 2018, PT PLN (Persero) mencatat kerugian akibat pencurian listrik di wilayah distribusi Jakarta Raya dan sekitarnya mencapai Rp 1,26 triliun dari total pendapatan Rp 42 triliun. Guna mengatasi hal ini, sejak tahun 2016 PLN membentuk tim penertiban pemakaian tenaga listrik (P2TL) yang bertugas mengatasi pencurian listrik, terutama di kawasan permukiman padat penduduk.
PLN juga telah mendirikan stasiun pengisian listrik umum (SPLU) untuk memberikan aliran listrik ke usaha nonpermanen, seperti pedagang kaki lima. Hingga tahun 2018, telah tersedia 1.000 titik SPLU di Jakarta. Keberadaan SPLU diharapkan dapat mengurangi pencurian listrik dengan cara nebeng aliran listrik terdekat. Pencurian listrik dengan cara itu tidak hanya merugikan negara, tetapi juga membahayakan karena berpotensi memicu hubungan pendek arus listrik.
Kepadatan penduduk
Kebakaran yang segera dapat diatasi akan meminimalkan luasan area yang terbakar, kerugian materi, dan jatuhnya korban. Namun, ada sejumlah faktor yang menyebabkan kebakaran tidak dapat cepat diatasi. Faktor itu antara lain kepadatan penduduk (permukiman) yang tinggi, bangunan rumah yang mudah terbakar, serta jalan lingkungan yang relatif sempit dan banyak tikungan.
Keberadaan sumber air yang relatif jauh dari lokasi kebakaran, jaringan atau instalasi kabel listrik yang tidak teratur, serta kesadaran warga terhadap keamanan dari kebakaran juga menjadi penyebabnya.
Dari berbagai faktor itu, bisa dikatakan Jakarta sangat rawan kebakaran. Misalnya dari segi kepadatan penduduk, kepadatan penduduk di Jakarta adalah paling tinggi se-Indonesia. pada 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kepadatan Jakarta mencapai 15.328 jiwa per kilometer persegi. Sementara rata-rata kepadatan penduduk di Indonesia hanya 134 jiwa per kilometer persegi. Padatnya Jakarta berdampak pada padatnya permukiman dengan berbagai karakteristik bangunan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS tahun 2017 menunjukkan proporsi keluarga di DKI Jakarta yang tinggal di permukiman tapak tanah dengan luas bangunan kurang dari 25 meter persegi mencapai 27,9 persen. Permukiman jenis itu terbanyak tersebar di Jakarta Pusat, lalu di Jakarta Utara.
Rumah dengan luas kurang dari 25 meter persegi ini identik dengan rumah di permukiman kumuh yang padat. Permukiman ini biasanya terletak di gang sempit dan hanya bisa dilewati sepeda atau motor. Jika terjadi kebakaran, kondisi jalan seperti itu sulit dilalui mobil pemadam kebakaran.
Permukiman ini banyak ditemukan di sejumlah lokasi di Jakarta, seperti di Kelurahan Penjaringan di Penjaringan dan Kelurahan Kalibaru di Cilincing, Jakarta Utara. Lokasi lain misalnya di Kelurahan Tanah Tinggi di Johar Baru dan Kelurahan Mangga Dua Selatan di Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Kesiagaan
Antisipasi terhadap kebakaran sebenarnya sudah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hingga tahun 2017, DPKP telah memiliki armada pemadaman dengan teknologi canggih. Mulai dari 73 mobil reaksi cepat, 67 mobil penyelamat, dan mobil pompa sebanyak 149 unit yang memiliki kapasitas 2.500 liter, 4.000 liter, dan 10.000 liter.
Selain itu, ada juga delapan mobil tangga dengan ketinggian tangga 33 meter, 55 meter, dan 90 meter. Mobil ini sangat berguna ketika terjadi kebakaran di gedung bertingkat. Guna menjangkau lokasi di gang sempit, DPKP juga memiliki ratusan sepeda motor unit pemadam rekasi cepat (UPRC).
Sementara itu, sebagai pos penjagaan, DPKP memiliki 5 kantor suku dinas, 25 kantor sektor, 90 pos pemadam kebakaran, dan 5 pos karavan. Setiap pos dijaga personel yang selalu bersiaga untuk pencegahan kebakaran, penyelamatan korban kebakaran, dan bencana lain.
Pos ini tersebar di lima wilayah di DKI Jakarta. Dilhat dari sebarannya, jumlah kantor dan pos pemadam terbanyak ada di Jakarta Utara, yakni sebanyak 28 unit. Adapun Jakarta Selatan dan Jakarta Timur memiliki masing-masing 27 unit, sementara Jakarta Barat 26 unit, dan Jakarta Pusat 18 unit.
Keberadaan hidran juga membantu pemadaman api dalam kebakaran. Namun, tidak semua hidran dalam kondisi baik. Data di awal tahun 2017 menunjukkan, dari 1.374 hidran di DKI Jakarta, hanya 755 unit (55 persen) yang masih bisa mengeluarkan air. Pasokan air hidran ini bergantung pada pasokan air PDAM.
Kesadaran publik
Di tengah berbagai kondisi sarana yang disiapkan untuk mengatasi kebakaran, upaya mandiri masyarakat dalam mengantisipasi kebakaran di Ibu Kota adalah yang terpenting. Setidaknya, ketika petugas pemadam kebakaran belum datang, ada upaya yang dilakukan warga agar kebakaran tidak meluas. Agar memiliki kesadaran mengatasi bencana kebakaran, masyarakat perlu dibekali dengan keterampilan penyelamatan dasar.
Guna meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam mengatasi kebakaran, tahun ini DPKP telah membagikan alat pemadam api ringan (APAR) berukuran 3,5 kilogram di sejumlah kecamatan di DKI Jakarta, berikut pelatihan untuk menggunakannya. APAR ini diletakkan di rumah ketua RT atau RW untuk antisipasi kebakaran.
Selain itu, sejak tahun 2014, ada 65 alat pemadam kebakaran manual (pawang geni) yang disebar ke masyarakat. Alat ini berupa tong besar berwarna merah, memiliki selang, pompa manual, dan roda. Walau hanya bisa memadamkan kebakaran dalam skala kecil, pawang geni bisa dipakai warga sampai datang bantuan dari DKPB.
DKI Jakarta akan sulit lepas dari bencana kebakaran jika tidak ditunjang kesadaran warga akan keamanan dari kebakaran. Kesadaran untuk senantiasa menyiapkan dan merawat alat pemadam api ringan, hidran, mengecek jaringan instalasi listrik, serta mendorong perwujudan lahan permukiman yang aman dari kebakaran perlu dilakukan oleh semua pihak.(LITBANG KOMPAS)