Di tengah kondisi perekonomian global yang penuh tekanan, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk membukukan laba bersih Rp 1,3 triliun per akhir Juni 2019.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kondisi perekonomian global yang penuh tekanan, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk membukukan laba bersih Rp 1,3 triliun per akhir Juni 2019. Laba bersih itu setengah dari target tahun ini yang mencapai Rp 2,6 triliun.
Adapun pada akhir Juni 2019, aset BTN sebesar Rp 312,47 triliun atau meningkat 16,58 persen secara tahunan.
Direktur Utama BTN Maryono dalam paparan kinerja semester I-2019 di Jakarta, Jumat (26/7/2019), menyebutkan, BTN menyalurkan kredit Rp 251,04 triliun per akhir semester I-2019 atau tumbuh 18,78 persen secara tahunan. Pertumbuhan penyaluran kredit BTN itu ditopang segmen kredit perumahan.
Kredit sektor perumahan naik 19,72 persen secara tahunan menjadi Rp 173,61 triliun. Segmen kredit perumahan ditopang penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi yang mencapai Rp 90,75 triliun per akhir Juni 2019 atau tumbuh 27,55 persen secara tahunan. Adapun KPR nonsubsidi naik 13,08 secara tahunan menjadi Rp 74,39 triliun.
BTN menyalurkan kredit perumahan untuk 424.863 unit rumah, yang terdiri dari 328.192 unit rumah subsidi senilai Rp 19,7 triliun dan 96.671 unit rumah nonsubsidi atau setara Rp 16,72 triliun.
”Semester I-2019 kita berada dalam kondisi makro atau kondisi global yang tidak begitu bersahabat. BTN berkonsentrasi di bisnis perumahan yang hampir 80 persennya didominasi KPR subsidi. Akan tetapi, anggaran subsidi dalam APBN 2019 turun dan kami belum tahu apakah akan direvisi (anggarannya),” kata Maryono.
Menurut Maryono, kondisi industri perbankan pada semester I-2019 tidak mudah. Likuiditas perbankan mengetat sehingga pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) hanya terkonsentrasi di bank umum kelompok usaha (BUKU) IV. Per akhir semester I-2019, BTN menghimpun DPK sebesar Rp 234,89 triliun atau tumbuh 15,89 persen secara tahunan.
Kendati pengetatan likuiditas memengaruhi biaya dana dan keuntungan sebuah bank, lanjut Maryono, hal itu relatif tidak berdampak pada BTN. Suku bunga KPR dari BTN tidak naik.
Di lini bisnis komersial, penyaluran kredit tumbuh 17,7 persen secara tahunan, dari Rp 38,03 triliun menjadi Rp 44,77 triliun per akhir Juni 2019. Kenaikan penyaluran kredit itu menyumbang kenaikan pendapatan bunga 19,81 persen, dari Rp 10,66 triliun pada akhir Juni 2018 menjadi Rp 12,78 triliun pada akhir Juni 2019.
”Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 0,25 persen berpotensi menurunkan suku bunga kredit. BTN akan mengoptimalkan pencarian dana murah. Kami juga akan menurunkan suku bunga deposito secara selektif dan hati-hati dengan melihat kondisi pasar dan persaingan karena meski BI Rate turun, tapi volume dana relatif ketat,” ujar Maryono.
Evaluasi
Terkait KPR subsidi, menurut Maryono, BTN tengah menanti hasil evaluasi pemerintah terhadap penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sebab, kuota untuk menyalurkan FLPP hampir habis. Saat ini BTN sudah menyalurkan KPR subsidi berskema subsidi selisih bunga (SSB).
Dari anggaran yang tersedia, masih ada peluang pengalihan kuota FLPP dari bank pelaksana FLPP yang belum terealisasi. Selain itu, ada kemungkinan penambahan anggaran rumah subsidi.
Dengan kemungkinan anggaran subsidi yang akan segera habis, BTN telah menyiapkan beberapa skema, antara lain KPR Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) yang merupakan kerja sama BTN dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dengan skema tersebut, calon debitor dibantu untuk uang muka pembelian rumah dengan bunga KPR komersial.
Skema lainnya adalah KPR khusus yang disiapkan BTN. Skema ini untuk mengantisipasi jika tidak ada penambahan anggaran subsidi.
”Kami tetap menampung pembeli yang ingin KPR seperti skema subsidi dengan perbedaan tipis,” kata Maryono.
Direktur BTN Nixon LP Napitupulu menambahkan, rasio kredit bermasalah (NPL) untuk KPR subsidi jauh lebih rendah dibandingkan dengan KPR non-subsidi. Rasio kredit macet KPR subsidi hanya sebesar 1 persen. Sementara, target rasio kredit macet hingga akhir tahun ini di bawah 2,5 persen.
Secara terpisah, pengajar dari Laboratorium Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung M Jehansyah Siregar berpandangan, pemberian subsidi perumahan perlu dievaluasi secara menyeluruh. Sebab, sejak dimulai pada 1974, berbagai skema subsidi yang diberikan pemerintah tidak dapat mengurangi angka kekurangan rumah masyarakat.
”Subsidi meningkat, triliunan dikucurkan, tetapi angka kekurangan rumah juga membesar. Perlu dievaluasi apakah subsidi perumahan tepat sasaran atau tidak,” kata Jehansyah.
Menurut Jehansyah, subsidi perumahan banyak diserap di perkotaan. Padahal, untuk kota dengan penduduk yang padat, hunian yang sesuai bagi kebutuhan masyarakat adalah rumah susun sewa atau apartemen murah. Jika hanya dengan memberi subsidi, Jehansyah khawatir berapa pun yang dikucurkan, angka kekurangan rumah tidak akan habis.
Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah telah menghitung bahwa anggaran FLPP akan habis sebelum akhir tahun. Karena itu, anggaran FLPP diusulkan untuk ditambah menjadi total 150.000 unit atau ditambah setidaknya 82.000 unit dari anggaran 68.000 unit saat ini. Basuki berharap usulan tersebut disetujui Kementerian Keuangan. (NAD)