Laju Pemanasan Bumi Tercepat dalam 2.000 Tahun
Pada Juli ini, jagat media ramai memberitakan 50 tahun peringatan pendaratan manusia di Bulan. Pada bulan yang sama, 10 tahun setelah pendaratan itu, untuk pertama kali dilaporkan bahwa masa depan kehidupan di Bumi menghadapi ancaman serius.
Pada Juli ini, jagat media ramai memberitakan 50 tahun peringatan pendaratan manusia di Bulan. Pada bulan yang sama, 10 tahun setelah pendaratan itu, untuk pertama kali dilaporkan bahwa masa depan kehidupan di Bumi menghadapi ancaman serius akibat lonjakan emisi gas rumah kaca yang dapat memicu pemanasan global.
Kini, 40 tahun setelah peringatan dari kalangan saintifik ini, suhu Bumi makin panas. Bahkan, kajian terbaru menunjukkan laju pemanasan global saat ini merupakan yang tercepat dalam 2.000 tahun terakhir.
Pada Juli 1979 itu, sekelompok ilmuwan iklim di Lembaga Oseanografi Woods Hole di Massachusetts, Inggris, membentuk ”Kelompok Ad Hoc tentang Karbon Dioksida dan Iklim”. Mereka kemudian mengeluarkan Laporan Charney, yaitu kajian saintifik pertama yang komprehensif tentang pengaruh karbon dioksida terhadap perubahan iklim global.
Gaung Laporan Charney ini memang kalah jauh dibandingkan pendaratan manusia di Bulan, tetapi kajian ini menjadi fondasi sains bagi perubahan iklim dan memantik kesadaran global untuk mengerem laju bencana global ini.
Sebelumnya, pada tahun 1850-an, fisikawan Irlandia telah menemukan efek rumah kaca. Menurut dia, karbon dioksida merupakan salah satu gas yang bisa meningkatkan suhu jika konsentrasinya di atmosfer amat tinggi di atmosfer. Berikutnya, pada 1950-an, para ilmuwan mulai memprediksi Bumi mengalami pemanasan jika terus membakar bahan bakar fosil.
Pada tahun 1972 John Sawyer, Kepala Penelitian di Kantor Meteorologi Inggris, menulis makalah empat halaman di jurnal Nature yang memperkirakan Bumi mengalami penambahan suhu sekitar 0,6 derajat celsius di akhir abad ke-20. Akan tetapi, prediksi itu masih menjadi kontroversi.
Sejumlah ilmuwan lain berpendapat, peningkatan suhu global tak terjadi secara linier. Sebagai buktinya, dunia justru mendingin pada 1300-1850 sehingga periode itu dikenal era Zaman Es Kecil. Pendinginan ini terutama terekam di Eropa melalui lukisan dari periode ini dan juga jejak pada pohon.
Hingga pada tahun 1979, 10 ilmuwan iklim terkemuka berkumpul di Massachusetts guna menghitung laju pemanasan suhu secara lebih akurat untuk menunjukkan tentang seriusnya dampak perubahan iklim. Mereka dipimpin salah satu ilmuwan atmosfer paling dihormati pada abad ke-20, Jule Charney dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Laporan yang mereka buat menjabarkan dengan tegas, ”Kami memperkirakan pemanasan global yang paling mungkin karena penambahan konsentrasi karbon dioksida hingga dua kali lipat akan mendekati 3 derajat celsius dengan kemungkinan kesalahan 1,5 derajat celsius.”
Setelah laporan Charney ini, pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi konsensus dunia untuk pertama kalinya pada tahun 1985. Pada tahun itu, konferensi yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyepakati bahwa gas rumah kaca telah memicu pemanasan global dan bahwa dampak dan tingkat pemanasan itu tidak terelakkan oleh dunia.
”Charney Report adalah contoh dari hasil penting dan manfaat sains yang baik dan akurat,” kata peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto.
Setelah 40 tahun
Kini, 40 tahun sejak laporan ini, konsentrasi karbon dioksida rata-rata tahunan di atmosfer, sebagaimana diukur di Mauna Loa di Hawaii, meningkat 21 persen. Selama periode sama, suhu permukaan rata-rata global meningkat 0,66 derajat celsius. Itu berarti, jika penambahan karbon dioksida mencapai dua kali, Bumi akan bertambah panas 2,5 derajat celsius.
Kajian terbaru oleh kelompok internasional yang dipimpin Raphael Neukom dari Oeschger Center for Climate Change Research, University of Bern, yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience pekan ini menunjukkan periode terpanas di Bumi dalam 2.000 tahun terakhir kemungkinan besar terjadi pada abad ke-20.
”Memang benar bahwa selama Zaman Es Kecil itu umumnya lebih dingin di sejumlah bagiandunia, "jelas Raphael Neukom," tetapi itu tidak terjadi di semua tempat pada saat yang sama. Periode puncak periode hangat dan dingin pra-industri terjadi pada waktu yang berbeda di tempat berbeda."
Menurut dia, Zaman Es Kecil itu, terutama terjadi di Eropa dan sebagian Amerika, tetapi tak ada data pembanding di belahan dunia lain. Dengan demikian, tidak bisa disimpulkan hal ini terjadi secara global. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, di antara letusan gunung api.
Sebagai contoh, letusan gunung api Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di Eropa pada tahun 1815-1816. Sebelumnya, pada tahun 1257 juga terjadi letusan Gunung Samalas di kompleks Gunung Rinjani, yang diperkirakan lebih dahsyat dari letusan Tambora. Letusan-letusan gunung api ini diperkirakan bisa mendinginkan Bumi, tetapi sifatnya hanya sementara.
Para peneliti menunjukkan periode terpanas di Bumi dalam 2.000 tahun terakhir justru terjadi di abad ke-20. Selain itu, pemanasan global saat ini terjadi pada lebih dari 98 persen permukaan Bumi. Itu membuktikan perubahan iklim modern tidak dapat dijelaskan dengan fluktuasi acak seperti fenomena cuaca sebelumnya, tetapi oleh emisi antropogenik CO2 dan gas rumah kaca lainnya.
Studi Neukom dan tim ini menyimpulkan, suhu global rata-rata di abad ke-20 disebut lebih tinggi daripada sebelumnya dalam setidaknya 2.000 tahun. Tak hanya itu, periode pemanasan kini memengaruhi semua planet pada saat yang sama untuk pertama kali dengan kecepatan pemanasan global tidak pernah setinggi sekarang ini.
Hari-hari ini Eropa juga dilanda gelombang panas dengan suhu udara di banyak negara memecahkan rekor tertinggi. Contohnya, Belgia, Jerman, dan Belanda mengalami rekor suhu nasional tertinggi dengan rata-rata di atas 40 derajat celsius. Kota Paris di Perancis pun mengalami rekor terpanas 42,6 derajat celsius, yang merupakan suhu tertinggi sejak dilakukan pencatatan pada tahun 1630.
Gelombang panas pada Juli ini mengikuti kejadian serupa pada Juni, yang sebelumnya juga mencatat rekor suhu baru di Eropa dengan suhu rata-rata 2 derajat celsius di atas normal. Juni juga merupakan bulan terpanas di dunia.
Laporan studi para ilmuwan dari World Weather Attribution tentang kontribusi manusia terhadap gelombang panas Juni 2019 menyimpulkan, ”Setiap gelombang panas yang terjadi di Eropa saat ini lebih intens akibat perubahan iklim yang disebabkan manusia.”
Setiap gelombang panas yang terjadi di Eropa saat ini lebih intens akibat perubahan iklim yang disebabkan manusia.
Studi ini juga menyebut, gelombang panas yang intens terjadi saat ini setidaknya 10 kali lebih sering daripada seabad lalu. Gelombang panas diperkirakan terjadi tiap tahun jika suhu global naik 2 derajat celsius di atas suhu era praindustri atau sebelum 1600-an. Jika pemanasan global 1,5 derajat celsius, peristiwa itu diperkirakan bakal terjadi tiap dua dari tiga tahun.
Dengan ekstremitas iklim yang meningkat ini, seharusnya tak ada alasan bagi semua negara untuk memenuhi komitmen penurunan emisi karbon. Itu bisa dimulai dalam skala individu dengan pola hidup rendah emisi karbon, mulai dari menghemat energi hingga memilih menggunakan transportasi umum.