Ruwet, Melelahkan, dan Sarat Dugaan Kecurangan
Masa pengenalan lingkungan sekolah di SMA Negeri (SMAN) 8 Depok, Jawa Barat, masih berlangsung pada Selasa (16/7/2019). Ratusan siswa baru berkumpul di lapangan tengah sekolah. Suara riuh rendah dari siswa baru terdengar hingga ke luar pagar sekolah.
Di luar pagar sekolah, sejumlah orangtua menyaksikan para siswa baru mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS). Pintu gerbang sekolah tertutup rapat sehingga orangtua memilih memantau jalannya MPLS dari luar area sekolah. Mereka terlihat membawa dokumen dan berkas seperti akta kelahiran anak dan kartu keluarga.
Karena tak diizinkan masuk, mereka berdiri di sekitar pagar sekolah. Satu di antaranya, AS (45), bersandar di tembok luar sekolah sembari memainkan gawai. ”Keponakan saya mau sekolah di sini, tapi tidak diterima,” kata AS.
AS memeriksa gawainya setiap beberapa detik. Sesekali ia menelepon seseorang. Dia menerangkan, nilai ujian nasional keponakannya 35,00. Nilai tersebut dianggap cukup untuk mendaftar di SMAN 8 Depok. Terlebih sang keponakan berdomisili sekitar 300 meter dari sekolah.
”Lagi pula nilai ujian nasionalnya 35,00. Itu hampir sempurna, jarak sekolah juga dekat dari rumah. Kenapa tetap tidak diterima?” kata lelaki ini bertanya-tanya.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mengatur pendaftaran PPDB dibagi menjadi tiga jalur, yaitu jalur zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas orangtua/wali.
Untuk jalur zonasi, sekolah diwajibkan mengalokasikan sedikitnya 90 persen dari daya tampung sekolah. Penetapan zonasi dilakukan pada setiap jenjang oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah.
Atas dasar itulah, AS tak terima keponakannya yang berdomisili dalam radius 300 meter dari sekolah pada detik-detik akhir terpental dari persaingan masuk SMAN 8 Depok.
Segala cara ditempuh
Kedatangan AS ke sekolah bermaksud kembali memperjuangkan sang keponakan agar diterima bersekolah di SMAN 8 Depok. Ia hendak bertemu dengan kepala sekolah atau pengurus komite sekolah. Pada hari pengumuman PPDB, AS mengaku sudah memprotes hasil pengumuman tersebut.
Segala cara bersedia ditempuh asalkan keponakannya berhasil diterima masuk di SMAN 8 Depok. AS mengaku telah menyiapkan dana sejumlah Rp 15 juta untuk ditransfer kepada pihak sekolah. AS juga memiliki kerabat ”orang dalam” sekolah yang bisa membantunya.
”Harganya bervariasi, dari Rp 10 juta dan paling mahal Rp 20 juta. Jangan salah, kalau untuk sekolah favorit ini bisa sampai setinggi itu harganya,” katanya.
Harganya bervariasi, dari Rp 10 juta dan paling mahal Rp 20 juta. Jangan salah, kalau untuk sekolah favorit ini bisa sampai setinggi itu harganya.
Dikonfirmasi terpisah, Wakil Kepala Bidang Kehumasan SMAN 8 Depok Sugiharto membantah adanya transaksi jual beli kursi di sekolahnya. Menurut dia, daya tampung sekolah untuk siswa baru sebesar 320 kursi telah terisi penuh sehingga tidak mungkin ada lagi upaya jual beli kursi.
”Tidak benar itu. Hanya fitnah kepada kami, yang jelas tidak ada jual beli kursi karena daya tampung sekolah sudah penuh,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sugiharto menerangkan, jumlah peserta didik yang mendaftar di SMAN 8 Depok sangat besar. Namun, Sugiharto yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia PPDB 2019 SMAN 8 Depok itu menyatakan banyak orangtua yang tidak mengerti bagaimana mekanisme PPDB berjalan.
Sebagai contoh, ia menyesalkan banyak orangtua yang termakan isu siapa yang datang mendaftar pertama kali, maka akan diterima di SMAN 8 Depok. Padahal, jalur penerimaan PPDB telah diatur.
Secara garis besar SMAN 8 Depok menerima siswa baru dari jalur zonasi murni sebesar 55 persen. Lalu, dari zonasi kombinasi sejumlah 15 persen, keluarga tidak mampu 20 persen, prestasi ujian nasional 2,5 persen, prestasi nonakademik 2,5 persen, dan perpindahan orangtua 5 persen.
Ketidakpuasan orangtua yang merasa nilai ujian nasional anaknya tinggi namun tak diterima di SMAN 8 Depok, kata Sugiharto, karena mereka tidak memahami mekanisme seleksi di PPDB.
”Walaupun nilai ujian nasional tinggi, kalau menempatkan SMAN 8 Depok di pilihan ketiga, maka dia akan kalah bersaing dengan siswa yang menempatkannya di pilihan pertama. Lagi pula jalur prestasi ujian nasional ini kuotanya sangat sedikit,” kata Sugiharto.
Adapun pada sistem zonasi murni, kuota 55 persen telah habis untuk siswa yang berdomisili dalam radius 800 meter dari SMAN 8 Depok. Oleh sebab itu, menurut Sugiharto, sistem zonasi alangkah baiknya diimbangi dengan pembangunan sekolah-sekolah baru oleh pemerintah. Di Kecamatan Cilodong, Depok, hanya terdapat satu sekolah, yaitu SMAN 8 Depok.
Keluhan orangtua siswa terhadap proses PPDB 2019 juga terjadi di SMAN 1 Depok. Ayu Lilipaly (45), salah satu orangtua siswa yang mendaftarkan anaknya di SMA ini, mengkhawatirkan ada oknum sekolah atau peserta didik yang bermain curang dalam pemberlakuan sistem zonasi ini.
”Banyak peserta didik yang mendaftar jauh dari zonasi sekolah. Hal ini juga yang menyebabkan membeludak pendaftar,” kata Ayu yang rumahnya sekitar 600 meter dari sekolah (Kompas.id, 21 Juni 2019).
Kecurigaan Ayu berdasarkan pengamatan saat mengantre untuk memverifikasi data pada hari ketiga. Ayu yang memegang nomor antrean 691 tersebut kaget ketika beberapa orang yang memegang nomor antrean di atas 700 justru ada di depannya.
Sontak, Ayu memprotes orang tersebut karena ia sudah sedari pagi mengantre. Namun, orang tersebut bergeming. Akibat ruwetnya proses tersebut, sejumlah orangtua calon siswa harus mengurus pendaftaran anaknya hingga empat hari di SMA ini. Begitu melelahkan.
Baca juga : Di Depok, Orangtua Keluhkan PPDB Sistem Zonasi Terlalu Ribet
Tidak hanya di Depok, kecemasan terhadap dugaan adanya ”permainan” dalam PPDB juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Di Denpasar, sejumlah orangtua calon siswa tidak puas karena anak mereka ditolak karena tidak sesuai jarak terdekat.
Hal ini dipicu dari penolakan pada sistem daring karena jarak terdekat yang sesuai tertera di kartu keluarga justru tersisih dibadingkan calon siswa dengan surat domisili (karena orangtua tinggal di luar Denpasar). Bahkan, beberapa orangtua calon siswa menyinyalir ada surat domisili bayangan.
Mereka curiga dengan surat domisili yang dilampirkan saat mendaftar, karena rawan diselewengkan. ”Domisili siluman ini jangan sampai terjadi karena mengajarkan anak-anak masuk dengan penuh kecurangan,” kata Kadek Dana, orangtua calon siswa dari Denpasar (Kompas.id, 26 Juni 2019).
Baca juga : Orangtua Calon Siswa Curiga Ada Permainan Domisili
Kepala Keasistenan Bidang Pendidikan Ombudsman Jakarta Raya Rully Amirulloh mengakui, dugaan pelanggaran seperti pungutan liar, transaksi jual beli kursi, maupun manipulasi keterangan domisili diduga jamak terjadi pada PPDB tahun ini. Hal itu terjadi karena ada oknum yang memanfaatkan celah regulasi. Untuk itu, masyarakat diharapkan proaktif melaporkan segala bentuk pelanggaran.
Sebelumnya, Ombudsman Jakarta Raya telah memeriksa 11 sekolah di Jabodetabek karena ada dugaan pelanggaran dalam PPDB. Sekolah yang telah diperiksa adalah SMAN 1 Kota Bekasi, SMAN 2 Kota Bekasi, SMAN 1 Cikarang Pusat, SMAN 3 Babelan, SMAN 7 Tambun Selatan. Ditambah SMAN 3 Bogor, SMAN 2 Gunung Putri, serta SMAN 1 Depok, SMAN 4 Depok, SMAN 6 Depok, dan SMAN 8 Depok.
”Hal ini sudah selesai karena hanya terkait aplikasi PPDB yang bermasalah di tingkat Provinsi Jawa Barat,” kata Rully.
Dugaan malaadministrasi
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Suadi, menyampaikan, kebijakan PPDB berdasarkan zonasi sebenarnya bertujuan menghilangkan paradigma sekolah favorit. Sistem zonasi dinilai mampu memeratakan kualitas pendidikan di Tanah Air.
Hanya saja, meski sudah menerapkan pendaftaran secara daring dengan mengedepankan sistem zonasi, PPDB harus diawasi secara ketat. Sebab, Ombdusman masih menemukan dugaan malaadministrasi dalam PPDB 2019. Temuan Ombudsman tersebut disampaikan pada Jumat (26/7/2019).
Dugaan malaadministrasi tersebut antara lain meliputi dugaan pungutan liar terhadap calon siswa di Kalimantan Barat, temuan calon peserta didik yang ”menumpang” kartu keluarga orang lain untuk mengakali sistem zonasi, hingga intervensi pejabat daerah terhadap proses PPDB dengan permintaan penambahan kuota di Jawa Timur dan Bali.
Baca juga: Penambahan Kuota Diminta untuk Diisi Pejabat Daerah
Selain itu, Suadi mengakui, juga terdapat potensi praktik jual beli kursi karena ada celah kuota 15 persen untuk jalur prestasi sesuai yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (SE Mendikbud) Nomor 3 Tahun 2019 tentang PPDB.
Dugaan malaadministrasi itu antara lain dugaan pungutan liar terhadap calon siswa di Kalimantan Barat, temuan calon peserta didik yang ”menumpang” kartu keluarga orang lain untuk mengakali sistem zonasi, hingga intervensi pejabat daerah terhadap proses PPDB dengan permintaan penambahan kuota di Jawa Timur dan Bali.
SE Mendikbud No 3/2019 tersebut dikeluarkan menyusul terbitnya Peraturan Mendikbud No 20/2019 yang merevisi Permendikbud No 51/2018 yang mencantumkan kuota jalur prestasi hanya 5 persen. Kuota jalur prestasi sebesar 15 persen itu berpotensi disalahgunakan karena tidak ada kriteria yang jelas terkait standar prestasi siswa yang diterima.
Suadi menilai, persoalan dalam PPDB 2019 tidak bisa hanya diselesaikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga Kementerian Dalam Negeri mengingat sekolah-sekolah di daerah di bawah kendali pemerintah daerah.
Tidak hanya Ombudsman, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, pengaduan terhadap sistem PPDB zonasi terjadi di 10 provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Bali, Riau, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat.
Aduan-aduan itu beragam. Paling banyak mengenai pengukuran jarak rumah ke sekolah yang tidak tepat sehingga merugikan siswa pengadu yang persentasenya mencapai 23 persen.
Selain itu, ada juga aduan tentang dugaan manipulasi domisili dan perpindahan kartu keluarga (11,5 persen), mempermasalahkan kuota zonasi (11,5 persen), masalah teknis saat pendaftaran (2 persen), dan ketidaktransparanan dalam proses PPDB (13,5 persen).
Atas permasalahan-permasalahan PPDB di daerah, Komisioner KPAI Retno Listyarti mendorong pemerintah merumuskan peraturan presiden (perpres) tentang sistem zonasi pendidikan. Perpres itu dibutuhkan sebagai sarana kolaborasi dan sinergi antarkementerian atau lembaga dengan pemerintah daerah.
”Untuk keberhasilan sistem zonasi pendidikan dibutuhkan sinergi kebijakan antarkementerian untuk melayani dan memenuhi hak atas pendidikan berkualitas bagi seluruh anak Indonesia,” kata Retno.
Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, temuan dan rekomendasi Ombudsman menjadi masukan untuk menyempurnakan sistem PPDB ke depan. Temuan itu juga menjadi masukan dalam penyusunan rancangan peraturan Presiden tentang zonasi pendidikan. Rancangan aturan ini akan menggantikan Permendikbud No 20/2019.
Maraknya dugaan malaadministrasi itu menunjukkan, sistem pendidikan di Tanah Air masih sarat kecurangan. PPDB diduga menjadi ajang bagi sejumlah oknum untuk meraih keuntungan pribadi.
Tak heran, saat PPDB berlangsung banyak orangtua merasakan kecemasan tak bertepi. Ada yang khawatir dicurangi, tetapi ada juga yang rela menempuh cara apa pun agar anaknya diterima sekolah negeri yang diminati. Proses yang ruwet, melelahkan, dan masih sarat kecurangan mewarnai PPDB tahun ini.
Agar PPDB dapat berlangsung secara adil dan jujur, komitmen bersih dan transparan harus dijunjung seluruh pihak, mulai dari sekolah, orangtua, pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat.
”Salah satu upaya untuk menghindari kecurangan, proses PPDB dapat diserahkan kepada pihak ketiga yang bukan dari pihak sekolah,” kata Rully.