Aisyiyah Dituntut Lebih Dinamis dan Agresif Hadapi Tantangan Kebangsaan
Di usianya yang ke-102 tahun, organisasi perempuan Aisyiyah dituntut lebih dinamis dan agresif. Hal itu penting agar mampu berperan maksimal dalam menghadapi tantangan kehidupan berbangsa yang semakin berat, seperti ancaman perpecahan, iliterasi moral, serta masih lemahnya daya saing bangsa.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Di usianya yang ke-102 tahun, organisasi perempuan Aisyiyah dituntut lebih dinamis dan agresif. Hal itu penting agar mampu berperan maksimal dalam menghadapi tantangan kehidupan berbangsa yang semakin berat, seperti ancaman perpecahan, iliterasi moral, serta masih lemahnya daya saing bangsa.
Pernyataan itu disampaikan Profesor Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin pada acara Tablig Akbar dalam rangka peringatan milad Aisyiyah ke-102 di Perguruan Muhammadiyah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (28/7/2019).
”Peringatan milad kali ini harus menjadi titik tolak atau tonggak sejarah untuk melakukan pembaruan-pembaruan, pengembangan-pengembangan, dan memberikan pencerahan baik melalui dakwah, kiprah, maupun amal usaha Aisyiyah,” ujar Din Syamsuddin.
Din mengatakan, semua bangsa di dunia pasti menghadapi tantangan, bahkan ancaman. Namun, tidak boleh gentar, risau, apalagi kehilangan kepercayaan diri. Salah satu tantangan yang paling serius saat ini adalah ancaman perpecahan. Sebab, bangsa Indonesia majemuk karena memiliki beragam agama, suku, bahasa, dan budaya.
Peringatan milad kali ini harus menjadi titik tolak atau tonggak sejarah untuk melakukan pembaruan-pembaruan, pengembangan-pengembangan, dan memberikan pencerahan baik melalui dakwah, kiprah, maupun amal usaha Aisyiyah.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta tergolong besar dan menempati urutan terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Tantangan bangsa yang besar dan majemuk ini semakin berat karena bentuk negaranya kepulauan dengan jumlah pulau 17.500 lebih.
Ancaman perpecahan begitu terbuka karena keindonesiaan warganya yang belum utuh dan belum mantap. Sebab, masih dalam proses menjadi Indonesia. Saat ini masih ada suku-suku bangsa yang hanya peduli dengan budaya sendiri, dan di sisi lain ada pihak-pihak yang masih menonjolkan egosentrisme.
”Hanya karena perbedaan pilihan politik, perbedaan partai politik, dan perbedaan calon presiden, mudah sekali bangsa ini terbelah,” kata Din Syamsuddin.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini mengingatkan jangan sampai agenda demokrasi membuat bangsa terpecah belah dan perpecahan itu berlarut. Di sinilah Aisyiyah harus berperan, yaitu menjadi perekat umat, perekat bangsa, perekat organisasi, minimal perekat keluarga.
Hanya karena perbedaan pilihan politik, perbedaan partai politik, dan perbedaan calon presiden, mudah sekali bangsa ini terbelah.
Tantangan serius lain yang tidak kalah berat yaitu ancaman terjadinya iliterasi moral (kebodohan moral). Aisyiyah harus turut mencerdaskan kehidupan bangsa, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Saat ini ada gejala bangsa Indonesia mengalami iliterasi moral atau buta aksara moral.
Hal ini sangat berbahaya apabila dibiarkan karena melanda kaum terdidik yang mempunyai derajat pendidikan tinggi, baik sarjana strata satu, sarjana strata dua, doktoral, bahkan profesor. Secara intelektual, mereka merupakan kaum cerdik cendekia yang mempunyai kemampuan belajar dengan baik, tetapi mengalami krisis literasi moral.
Akibat krisis literasi moral ini, banyak orang dipanggil oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan banyak yang masuk penjara. Ironisnya, buta aksara moral tidak hanya terjadi dalam hal tertentu, tetapi lebih luas lagi. Contohnya, tampilnya budaya permisif di masyarakat ketika terjadi kemungkaran, kemaksiatan, dan kebatilan di lingkungan sekitarnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Sidoarjo Nur Achmad Saifuddin yang juga hadir dalam acara tersebut mengajak Aisyiyah memberikan sumbangsih lebih besar lagi dalam pembangunan di wilayahnya untuk kemajuan masyarakat. Selama ini, Aisyiyah telah berkontribusi di bidang penyelenggaraan pendidikan, mulai usia dini hingga perguruan tinggi. Selain itu, juga berkontribusi di bidang kesehatan dan ekonomi melalui amal usahanya.
”Pemerintah daerah berterima kasih dan membuka ruang selebar-lebarnya untuk bekerja sama,” ucap Nur Achmad.
Aisyiyah merupakan organisasi perempuan tertua di Indonesia dan telah menampilkan peran kebangsaan, di antaranya memelopori kongres wanita Indonesia (Kowani). Kehadiran organisasi otonom perempuan Muhammadiyah ini telah memberikan corak tersendiri di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan keagamaan.
Dalam perjalanannya, Aisyiyah berkembang pesat dan memberikan manfaat bagi peningkatan harkat serta martabat bangsa melalui amal usaha yang dijalankan, seperti pendidikan anak usia dini yang jumlahnya mencapai lebih dari 10.000 sekolah TK/PAUD dan tersebar di sejumlah wilayah Nusantara. Aisyiyah telah mengembangkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Terbaru, organisasi ini membuka universitas di Yogyakarta dan segera menyusul universitas serupa di Bandung.