JAKARTA, KOMPAS — Penganekaragaman pangan pokok belum optimal. Hal itu disebabkan minimnya pengenalan pangan lokal kepada warga dan lemahnya penerapan kebijakan diversifikasi pangan. Karena itu, gerakan literasi pangan perlu didorong untuk menginisiasi kelestarian obyek pemajuan kebudayaan terkait pangan lokal sebagai dasar kebijakan pangan.
”Pangan pokok belum dimanfaatkan secara optimal,” kata anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, dalam acara bedah buku Nusantara dalam Piringku karya Ari Ambarwati dalam rangka Festival Literasi Sekolah III oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sabtu (27/7/2019), di Jakarta.
Padahal, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar nomor dua di dunia setelah Brasil. Ada sekitar 800 spesies tumbuhan pangan, sedangkan sumber karbohidrat mencapai 77 jenis. ”Penganekaragaman pangan untuk meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan berbasis potensi sumber daya lokal,” ucapnya.
Namun, pemanfaatan pangan lokal seperti umbi-umbian tertinggal dibandingkan beras dan gandum sebagai pangan pokok di Indonesia. Sebab, beras dan gandum memiliki keunggulan terkait rasa, kemudahan memperoleh, waktu penyiapan, dan dipadukan dengan pangan lain, meningkatkan status sosial, serta adanya dukungan kebijakan terkait riset dan stabilitas harga.
Ketahanan budaya
”Pengastaan terhadap pangan pokok tertentu tidak saja mengancam kerusakan ekosistem, tetapi juga eksistensi bahasa daerah yang menjadi penyokong keberadaan bahasa Indonesia,” kata Ari Ambarwati. Sebab, pangan digunakan di tiap komunitas untuk menyampaikan pesan atau kepentingan religius, rezim, identitas, dan etnisitas.
Pengastaan terhadap pangan pokok tertentu tidak saja mengancam kerusakan ekosistem, tetapi juga eksistensi bahasa daerah yang menjadi penyokong keberadaan bahasa Indonesia.
Ketika satu pangan pokok tak lagi dikonsumsi, aktivitas terkait budidaya, pengolahan, penyajian, serta laku budaya yang mengiringi pangan itu akan hilang. ”Keberagaman pangan pokok berarti keberagaman Indonesia. Jadi, menjaga keberagaman pangan pokok berarti menjaga budaya, lingkungan, dan bahasa Indonesia,” kata Ari yang juga dosen Universitas Islam Malang.
Terkait hal itu, literasi pangan lokal perlu digalakkan di sejumlah daerah. Literasi pangan adalah kecakapan mengidentifikasi bahan makanan, mengolah, menyajikan, serta memanfaatkan pengetahuan bahan makanan dan minuman bagi kehidupan. ”Pemerintah harus menjamin keberagaman pangan melalui pemberian insentif pemajuan pangan nonberas,” ujarnya.
Penulisan ulang
Gerakan literasi pangan juga perlu difasilitasi pemerintah untuk melestarikan piranti obyek pemajuan kebudayaan terkait pangan. ”Perlu penulisan ulang tradisi, adat, ritus, pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa soal pangan-gastronomi Indonesia, didigitalisasi menjadi buku teks atau nonteks pelajaran, videografik atau infografik, dan dipajankan dalam aktivitas literasi sekolah,” katanya.
Peran pemerintah pusat dan daerah penting dalam mendukung gerakan literasi pangan, terutama penganekaragaman pangan pokok. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, pemerintah setempat mendorong konsumsi pangan berbasis sorgum tiga kali sepekan. ”Perlu ada kebijakan untuk mengenalkan keragaman pangan pokok kepada anak-anak sejak usia dini,” kata Khudori.
Penganekaragaman pangan pokok juga harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Di sisi hulu, produksi pangan lokal mesti berkelanjutan dengan harga sesuai keekonomian agar petani tertarik menanam pangan pokok nonberas. Di sisi hilir, pangan pokok nonberas juga mesti mudah diakses warga, termasuk dalam bentuk pangan olahan.
Menanggapi hal itu, anggota Satuan Tugas Gerakan Literasi Sekolah, Endang S Rahayu, memaparkan, sejauh ini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berupaya membudayakan kembali konsumsi pangan lokal. Contohnya, sekolah-sekolah diminta menamai ruangan-ruangan di sekolah dengan berbagai nama jenis pangan lokal.