Menimbang Keberlanjutan Moratorium
Hingga kini belum ada sinyal moratorium pemekaran daerah yang diberlakukan sejak awal pemerintahan Joko Widodo bakal dicabut. Pencabutan moratorium hendaknya didahului evaluasi komprehensif, khususnya di daerah yang dimekarkan sejak 1999.
Sejak awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, tahun 2014, pemekaran daerah diputuskan untuk dihentikan. Hingga kini belum ada sinyal moratorium bakal dicabut. Akankah moratorium berlanjut di periode kedua pemerintahan Jokowi?
Situasi keuangan negara yang tak memungkinkan sering kali diutarakan pemerintah sebagai dasar moratorium pemekaran.
Dalam rapat dengan Komite I DPD, pertengahan Juli 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah menyampaikan, pembentukan satu kabupaten baru dengan penduduk di bawah 1 juta jiwa membutuhkan dana setidaknya Rp 400 miliar.
Akhir November 2017, Sumarsono yang kala itu masih menjabat Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mengatakan, dibutuhkan dana setidaknya Rp 60,2 triliun untuk pemekaran 101 daerah. Kebutuhan ini mulai dari pembentukan daerah persiapan, dana operasional daerah persiapan selama tiga tahun, hingga pembentukan daerah otonom baru (DOB) setelah daerah persiapan disetujui menjadi DOB.
Jumlah 101 daerah tersebut merupakan satu dari tiga alternatif skenario pemekaran hingga 2025 yang disiapkan Kemendagri. Dua opsi lain ialah jumlah daerah yang akan dimekarkan mencapai 264 daerah dan 202 daerah.
Di luar itu, usulan pemekaran daerah terus masuk ke DPR dan DPD. Sebagian di antaranya belum masuk dalam skenario pemekaran yang dirancang oleh pemerintah. Dengan dalih pemekaran bisa menyejahterakan masyarakat, kedua lembaga negara tersebut terus menuntut moratorium pemekaran dicabut. Sekalipun mereka sadar, tidak sedikit dana yang dibutuhkan.
Sementara di sisi lain, dari 223 DOB yang dilahirkan sejak 1999 hingga terakhir 2014, banyak yang belum berkembang atau bahkan gagal berkembang.
Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010-2014, menyebutkan, berdasarkan evaluasi komprehensif terhadap semua DOB pada 2012, sebanyak 80 persen DOB gagal berkembang. Salah satunya terlihat dari segi kemandirian ekonomi yang diukur dari rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dalam periode 2008-2012, hanya ada satu provinsi yang mampu mencapai kategori kemandirian ekonomi tinggi, yaitu daerah yang rasio PAD terhadap total pendapatan daerahnya lebih dari 75 persen. Itu pun tidak konsisten berlangsung setiap tahun, hanya terjadi pada 2011.
”Pada tingkat provinsi, hanya DKI Jakarta yang PAD-nya kuat. Selain itu, rata-rata lebih besar dana transfer dari pemerintah pusat ketimbang PAD. Apalagi di tingkat kabupaten/kota (kondisinya lebih buruk),” kata Djohermansyah.
Baca juga: Bukan Sekadar Memekarkan
Hal serupa terlihat pada 18 provinsi dan kabupaten baru yang terbentuk dalam rentang waktu 2012 hingga 2014.
Daerah-daerah itu antara lain Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Manokwari Selatan, dan Kabupaten Pegunungan Arfak. Ada pula Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Malaka, Kabupaten Mamuju Tengah, Kabupaten Banggai Laut, dan Kabupaten Morowali Utara.
Ada pula Kabupaten Pulau Taliabu, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara, Kabupaten Kolaka Timur, dan Kabupaten Konawe Kepulauan. tiga DOB lainnya ialah Kabupaten Muna Barat, Kabupaten Buton Tengah, dan Kabupaten Buton Selatan.
Berdasarkan kajian Kemendagri, menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal, hingga 2018, hanya Provinsi Kalimantan Utara yang rasio PAD terhadap total pendapatan daerahnya mampu mencapai angka 20 persen. Disusul Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Pulau Taliabu yang rasionya di atas 10 persen. Adapun rasio 13 DOB lainnya ada di bawah angka 10 persen, bahkan di bawah 5 persen.
Menurut Djohermansyah, idealnya rasio PAD terhadap total pendapatan daerah paling sedikit 50 persen.
”Kalau tidak bisa, artinya dia sudah keluar dari konsep dasar otonomi daerah, yaitu automoney,” ujarnya.
Evaluasi komprehensif
Sejak moratorium diberlakukan, banyak pihak mengharapkan moratorium diikuti evaluasi komprehensif terhadap semua DOB yang lahir sejak 1999.
Ini penting agar banyaknya DOB yang belum berkembang atau bahkan gagal berkembang bisa dipetakan penyebab-penyebabnya. Dari sana, pusat bisa memberikan ”obat” yang tepat untuk mengawal DOB tersebut agar berkembang.
Baca juga: Reposisi Otonomi Daerah
Tak hanya itu, dari evaluasi, pemerintah bisa belajar untuk mencegah hal serupa terulang saat moratorium dicabut dan keran pemekaran dibuka kembali.
Hal ini terutama dalam penyusunan dua rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang menjadi aturan pelaksana pemekaran setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sayangnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng melihat evaluasi komprehensif tak pernah dilakukan. Evaluasi DOB yang dilakukan Kemendagri pada 2018 hanya terfokus pada evaluasi penyelenggaraan pemerintahan. Itu pun yang dievaluasi terbatas pada 18 DOB yang lahir pasca-2012.
Bimbingan pusat
Selain itu, selama masa moratorium, bimbingan dari pusat kepada DOB yang lahir sejak 1999 dan belum berkembang tidak terlihat. ”Pemerintah pusat sepertinya tidak melakukan langkah-langkah khusus untuk menata daerah otonomi baru,” ujar Robert.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang kini menjabat Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, Abdullah Azwar Anas, juga melihat hal itu.
”Kami berharap pusat terus membina daerah otonom serta tidak bersikap reaktif terhadap permasalahan yang timbul. Kami membutuhkan bimbingan dan pengawasan untuk mencegah masalah dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan otonomi dari waktu ke waktu,” ujar Anas.
Menurut dia, sebagian besar proses pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan di daerah terjebak dalam rutinitas belaka. Kreativitas kepala daerah terkendala kekhawatiran bahwa prakarsa kebijakan yang dilakukan berpotensi terjerat masalah hukum. Sebab, mereka cenderung tidak memahami batasan hukum yang membingungkan.
”Oleh karena itu, banyak kepala daerah yang memilih untuk cari aman saja. Ini yang perlu disupervisi oleh pemerintah pusat,” katanya.
Baca juga: Kebudayaan sebagai Dasar Pembangunan Manusia Indonesia
Kembali ke pertanyaan awal, apakah Jokowi akan mencabut moratorium di sisa pemerintahannya pada periode pertama atau mencabutnya di periode kedua pemerintahannya?
Belum ada yang tahu pasti. Yang jelas, Kemendagri sudah menuntaskan penyusunan dua RPP yang jadi aturan pelaksana pemekaran. Kedua RPP tinggal menanti persetujuan kementerian terkait selain tentunya keputusan dari Presiden.
Namun, harapannya, sebelum kedua RPP disahkan, evaluasi komprehensif terhadap semua DOB dilakukan terlebih dulu. Dengan demikian, ke depan tak ada lagi DOB yang gagal berkembang. Akhirnya, pemekaran bisa mencapai tujuannya, yaitu menyejahterakan masyarakat di daerah dan semakin mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat.